Rabu, 13 April 2011

Hermenutika; Sebuah Sumbangan Terhadap Kajian Tafsir Hadis Oleh : Muhammad Idris Mas’udi

“Al-Hirminiyutiqa –idzan- Qadiyyatun Qadîmatun wa Jadîdah fi Nafs al-Waqt, wa Hiya fî Tarkizihâ ‘Alâ ‘Alâqat al-Mufassir bi al-Nash, laysat Qadiyyatan Khâshatan bi al-Fikri al-Gharbi, bal Hiya Qadhiyyat Lahâ Wujûduha al-Mulih fi Turâtsina al-Arabî al-Qadim wa a-Hadîts ‘Ala Sawâ’.” – Nashr Hâmid Abû Zayd

Rumusan ‘Ulûm al-Qur’an yang termuat dalam kitab-kitab kanonik mencakup segala hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tentang ke-alqur’an-an. Sebut saja al-Burhân, karya al-Zarkasyî, di dalam kitab tersebut terdapat ragam kajian tentang ilmu al-Qur’an; dari Makkiyah-Madaniyyah, Nâsikh-Mansûkh, Mujmal-Mubayyan, dan lain sebagainya. Cakupan yang begitu luas tersebut apakah memungkinkan adanya kajian-kajian baru seperti “hermeneutika” dapat dimasukkan dalam studi ‘Ulûm al-Qur’an atau -lebih umum lagi- menjadi piranti dalam memahami ilmu-ilmu keislaman lainnya?
Pertanyaan di atas menjadi semacam pertanyaan yang cukup problematis, karena jawaban yang keluar dari pertanyaan tersebut seperti sudah menjadi semacam simbol atau tanda ideologi seseorang. Misalnya, orang yang menjawab hermeneutika bisa dijadikan salah satu metode memahami ilmu-ilmu keislaman –seperti al-qur’an dan hadis- akan dicap sebagai agen Liberal, pengagum Orientalis, dan anggapan-anggapan miring lainnya. Sebaliknya, orang yang menjawab “haram” memasukkan kajian hermeneutika –oleh sebagian orang- akan dinilai sebagai muslim kaku. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, makalah di bawah ini hendak mendedahkan sebuah kajian hermeneutika serta sumbangannya terhadap kajian tafsir dan hadis.
A. Definisi Hermeneutika
Secara literal, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni Hermeneuein, yang berarti menjelaskan (erklären, to explain). Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman “Hermeneutik” dan bahasa Inggris “Hermeneutics”. Sementara sebagai sebuah istilah, hermeneutika didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Keberagaman dan kebertingkatan ini dikemukakan oleh Hans George Gadamer sebagaimana dikutip oleh Sahiron, bahwa sebelum digunakan sebagai disiplin keilmuan, istilah tersebut merujuk pada practice/techne (sebuah aktivitas) penafsiran dan pemahaman.
E. Sumaryono dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat mengatakan bahwa dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika dikaitkan dengan Hermes. Menurut mitos tersebut, Hermes bertugas menyampaikan pesan dewa kepada umat manusia. Sementara menurut Al-Jabiri dan Hosyen Nashr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris as. Yang di dalam al-Qur’an disebutkan sebagai guru tulis menulis, pengrajin, kedokteran, dan astrologi.
B. Hermeneutika dan Ilmu Tafsir
Istilah Hermenutika sebagai “ilmu Tafsir” pertama kali muncul ke permukaan pada sekitar abad ke- 17 M dengan dua pengertian; yaitu hermeneutika sebagai seperangkat metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai peggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tdak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl Braathen –sebagaimana dikutip Mujia Rahardjo- merupakan filosof yang mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dan menyatakan bahwa hermenutika adalah ilmu merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung unsure-unsur metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Pada mulanya hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan exegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi filsafat penafsiran kehidupan social. Friedrich Schleirmacher adalah filsuf yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari kajian Biblical Studies ke dalam ranah filsafat. Yang kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf setelahnya seperti Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai ilmu-ilmu kemanusiawian (Geisteswissenchaften), lalu Hans George Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jaqcues Derrida, Michael Foucault, dan lain sebagainya.
Hermenutika sebagai metode penafsiran tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah menyelami kandungan makna literalnya. Tidak hanya sampai di situ, hermenutika juga berusaha menggali makna dan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut; baik horizon author (muallif, pengarang), horizon reader (qâri`, pembaca), horizon setting historis munculnya teks (asbâb al-Wurûd).
Dr. Sahiron Syamsuddin mengukuhkan asumsinya tentang visibilitas hermenutika untuk diintegrasikan dalam kajian ilmu tafsir dengan tiga argumen;
1. Secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana memahami dan menafsirkan secara benar dan cermat.
2. Perbedaan keduanya adalah selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan obyek kajiannya; hermenutika sebagaimana telah disinggung di atas, mencakup seluruh obyek penelitian dalam ilmu social dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa atau teks), sementara ilmu tafsir juga –bahkan- hanya mengkaji tentang teks. Teks sebagai obyek inilah yang mempertemukan dan mempersatukan antara hermeneutika dan ilmu tafsir.
3. Memang benar bahwa obyek utama ilmu tafsir adalah teks al-Quran, sementara obyek utama hermenutika pada awalnya adalah bible, di mana proses pewahyuan antara kedua kitab suci ini jelas berbeda. Dalam hal ini, mungkin ada sebagian orang yang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an dan juga sebaliknya. Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim, sementara bible diyakini oleh umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermenutika maupun ilmu tafsir (konvensional, pen).
Hermeneutika dan Ilmu Hadis
Sebagaimana dalam kajian al-Qur’an yang memiliki kajian Asbâb al-Nuzûl, kajian hadis juga memiliki sebuah kajian Asbâb al-Wurûd. Salah satu fungsi dari kajian ini adalah mengetahui konteks historis munculnya sebuah teks hadis. Kajian ini menjadi sangat urgen dalam kaitannya memahami maksud Sabda Nabi Muhammad Saw. Dan juga untuk mengkontekstualisasikannya dalam era kedisinian, kekinian, dan keindonesiaan. Sebab, diakui atau tidak, ada sejumlah hadis Nabi Saw. Yang terpengaruh oleh budaya Arab. Sebagai misal, hadis-hadis yang menerangkan tentang pakaian Nabi Saw. Seperti Jubah, Gamis, Sorban yang di lipat di kepala (jawa :udeng-udeng).

Sebagaimana urgennya kajian Asbâb al-Wurûd dalam hadis, hermeneutika juga dapat membantu dalam mengkontekstualisasikan sebuah hadis. Seperti kajian tentang psikologis author (Nabi) dalam memahami sabdanya. Memahami psikologis nabi dalam literature ushul fiqh klasik juga sudah diupayakan oleh ulama klasik, Abu Hanifah, yakni dengan menggunakan konsep disparitas. Sebuah konsep yang membagi posisi dan kedudukan Nabi dalam bersabda. Konsep ini mengandaikan bahwa dalam diri Nabi Muhammad saw. Terdapat tiga posisi; Sebagai kepala Negara, sebagai nabi, dan sebagai manusia biasa. Atau memahami psikologis sang penanya dalam hadis yang bernuansa tanya jawab. Memahami psikologis sahabat nabi yang menjadi penanya dalam sebuah hadis adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana memahami hadis tentang keutamaan amal yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Di antara hadisnya adalah:
Saya (Abdullah bin Mas’ud) bertanya kepada Rasulullah Saw., “Amalan apakah yang paling disukai Allah?” Nabi Menjawab, “Shalat pada waktunya” Dia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Nabi menjawab, “ Berbakti kepada orang tua.”
Hadis ini menurut beberapa ulama seperti Ibn Daqîq al-‘Îd tidak memiliki cakupan yang umum, akan tetapi bersifat kondisional dan khusus. Yaitu karakter dan psikologi Abdullah bin Mas’ud sangat dipertimbangkan oleh Rasulullah Saw. Dalam menjawab pertanyaannya. Karena hadis lain tentang amalan utama justru tidak menempatkan “Shalat pada waktunya” sebagai amalan utama . Hal ini segendang sepenarian dengan hermeneutika Schleirmacher yang mengedepankan aspek Psikologis author (dan penanya) dalam memahami sebuah teks. Pendekatan psikologis dalam hadis ini juga pernah dikemukakan oleh pakar Maqâshid Syarî’ah, Izzuddin bin Abd Salam, dalam magnum opusnya “Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm”.
Penutup
Dari beberapa paparan yang telah penulis kemukakan di atas, setidaknya bisa dapat disimpulkan bahwa hermeneutika dalam kajian tafsir hadis memiliki peran yang cukup urgen. Kemudian, meskipun pada mulanya hermeneutika adalah produk Barat, bukan berarti hermeneutika tidak bisa digunakan dalam kajian studi keislaman. Karena sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas, hermeneutika memiliki pijakan referensial yang cukup kukuh dan kokoh dalam tradisi keislaman masa lampau. Karena sejatinya hermeneutika merupakan pengembangan dari kaidah ushul fikih popular “al-Ibrah bi Khusûs al-Sabab la bi Umûm al-Lafdzi” yang merupakan lawan dari kaidan “Al-Ibrah bi Umûm al-Lafdz la bi Khusûs al-Sabab.” Jika demikian faktanya, maka sungguh tepat bila Nashr Hamid Abû Zayd –sebagaimana penulis tulis dalam prolog tulisan ini- mengatakan bahwa heremeneutika adalah kajian lama sekaligus kajian baru. Kajiannya berkisar tentang relasi antara penafsir dengan teks, bukan hanya diskursus pemikiran di Barat, melainkan diskursus yang wujudnya ada dalam turats Arab. Dengan data-data yang mengukuhkan urgensitas hermeneutika di atas, masihkan umat muslim memperdebatkan kelayakan hermeneutika atau bahkan menganggapnya ilmu “kafir”? Sungguh tidak bijak jika kita menolak hermeneutika secara apriori, bukan?

Wallahu A’lam bi al-Shawâb

Daftar Bacaan
Nashr Hâmid Abû Zayd, Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyat at-Ta’wîl (Kairo; Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabi, 1994) cet III, h.94
Al-Zarkasyî, al-Burhân (Beirut; Dâr Fikr, 2006)
Al-Suyûthî, al-Itqân (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 2008).
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta; GIP, 2006).
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulum al-Qur’an (Jogjakarta: Pesantren Nawesea, 2009)
E. Sumaryo, Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat (Jogjakarta: Kanisius, 2003) cet.III
Irwan Masduqi dkk, Kontekstualisasi Turats; Hermeneutika Poros Tengah, (Kediri; Kopral 2005) cet.1, h. 16
Prof. Dr. Mudjia Rahardjo M.Si, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian (Jogjakarta: Arruz Media, 2008) cet.1, h.30
Ibn Daqîq al-îd, Ihkâm al-Ahkâm Syarh ‘Umdat al-Ahkâm (Beirut: Maktabah al-Sunnah Nabawiyyah, tt)
Izzudin bin Abd Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm (Beirut: Dâr Kutub al-Imiyyah, 2008)
Jurnal Al-Insan vol.II, tahun 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar