Rabu, 13 April 2011

Membedah Sirâj al-Thâlibîn Karya Syeikh Ihsân Dahlân; Sebuah Studi Kajian Hadis Oleh: Muhammad Idris Mas’udi

I. Pendahuluan

“Likulli Rijalin Fannun” adalah sebuah adagium yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing. Jika adagium itu ditarik lebih dalam terhadap bidang kajian ilmu keislaman, maka salah satu konsekuensi logisnya adalah sebuah konklusi yang cukup menggetarkan sejumlah kalangan. Konklusi itu akan menyatakan, “Sufi belum tentu Muhaddis” atau “Fakih belum tentu Muhaddis” dan lain sebagainya, yang intinya akan bermuara pada sebuah kata kunci “setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing”. Jika adagium ini digenerasilasikan, maka di dunia ini tidak akan pernah muncul seorang sarjana prolifik atau multidisipliner.
Akan tetapi di era klasik juga pernah muncul sebuah jargon klasik yang –bisa dikatakan lawan dari adagium di atas- menyatakan bahwa “Man Tabahhara Ilman Wahidan, Faqad Tabahhara Jamî’ al-Ulûm”. Jika kaidah pertama menyatakan setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing, maka jargon kedua mengatakan bahwa orang yang telah menguasai satu disiplin ilmu maka akan dapat menguasai seluruh disiplin ilmu lainnya.
Dua kaidah di atas akan menarik untuk diuji relevansinya jika ada kajian seorang tokoh yang dikenal memiliki spesialisasi ilmu A , kemudian dikaji melalui teropong ilmu B. Atau juga mengkaji sebuah karya tertentu kemudian dikaji melalui pendekatan lainnya.
Syahdan, dalam makalah ini penulis akan mencoba mendedahkan sebuah kajian hadis dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn karya ulama Nusantara yang murni produk pribumi dan hanya “nyantri”, Syeikh Ihsân bin Dahlân Jampes Kediri.
Elan vital dari kajian ini adalah di samping memenuhi kewajiban individual mata kuliah Kajian Kitab Hadis, juga ingin memberikan motivasi kepada generasi penerus untuk membangkitkan kembali gairah tulis-menulis putra bangsa yang kian meredup. Di sisi lain juga ingin membuktikan apakah Syeikh Ihsân yang –dengan dua karya tasawufnya- dikenal sebagai seorang sufi memiliki kapasitas dalam bidang hadis?
II. Biografi
1. Kelahiran
Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syeikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya dan yang pertama kali merintis berdirinya Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1888 M.[1]

Tidak banyak data yang mengurai secara detail tentang biografi Syeikh Ihsan Dahlan. Konon, Ihsan kecil, adalah termasuk seorang anak yang nakal. Dia sering kali bolos ngaji demi menonton pertunjukan wayang. Namun, kenakalan yang dilakukannya tidak berjalan lama, karena suatu ketika dia mimpi bertemu dengan kakeknya, dimana dalam mimpinya dia disuruh untuk berhenti melakukan hal-hal buruk. Syeikh Ihsan wafat pada hari senin, 25 Dzulhijjah 1371 H atau bulan September 1952 M.
2. Rihlah Ilmiah
Suatu ketika Bakri (Syeikh Ihsân) mimpi bertemu dengan kakeknya. Dalam mimpinya tersebut, Bakri disuruh oleh kakeknya untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Mimpi inilah yang kemudian membukakan pintu hatinya untuk melakukan pengembaraan intelektualnya.

Beberapa Pesantren yang pernah disinggahi oleh Syeikh Ihsan adalah:
Pondok Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin[2] (Paman Syeikh Ihsan)
Pondok Pesantren Jamseran Solo.
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan[3] Semarang.
Pondok Pesantren Mangkang Semarang.
Pondok Pesantren Punduh Magelang.
Pondok Pesantren Gondang Legi Nganjuk.
Pondok Pesantren Bangkalan Madura di bawah bimbingan KH. Kholil[4] Bangkalan.
Penulis tidak menemukan data yang menyebutkan spesialisasi disiplin ilmu yang diambil oleh Syeikh Ihsan dalam belajar di Pesantren-pesantren di atas. Hal ini menyulitkan penulis dalam mengidentifikasi guru-guru hadis Syeikh Ihsan. Sebuah data menyatakan bahwa dari beberapa pesantren yang dia singgahi, tidak ada yang lebih dari satu tahun.[5] Bahkah Syeikh Ihsan tidak pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah layaknya ulama-ulama lainnya.
Karya-Karya Syeikh Ihsan
Karya-karya Syeikh Ihsan yang sudah terlacak berjumlah empat buah:
Tashrîh al-Ibârat (syarah dari kitab Natîjat al-Mîqât karya KH. Sholeh Darat Semarang), terbit pada tahun 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas tentang ilmu astronomi.
Sirâj al-Thâlibîn (syarah dari kitab Minhâj al-Âbidîn karya Imam al-Ghazâlî), terbit pada tahun 1932. Buku setebal 800 halaman ini mengulas tentang Tasawuf.
Manâhij al-Imdâd (Syarah dari kitab Irsyâd al-‘Ibâd karya Syeikh Zainuddin al-Malibari), terbit pada tahun 1940. Buku dengan jumlah halaman sekitar 1088 ini juga mengulas Tasawuf. Terbit pada tahun 2004.
Irsyâd al-Ikhwân fi Bayân Hukmi Syurbi al-Qahwah wa al-Dukhân (Sebuah karya adaptasi puitik sekaligus penjabaran dari kitab Tadzkirah al-Ikhwân fi Bayân al-Qahwah wa al-Dukhân karya KH.Ahmad Dahlan Semarang), tt. Tebal sekitar 50 halaman, sebuah buku yang mengulas tentang pro kontra hukum meminum kopi dan rokok.
III. Membedah Sirâj al-Thâlibîn
Problem Otentisitas
Problem otentisitas sebuah karya bukanlah hal yang baru. Dalam literature klasik juga terdapat beberapa kitab yang diragukan keasliannya dalam penisbatannya kepada penulisnya. Sebut saja Tafsîr Tanwîr al-Miqbas yang dinisbatkan kepada Ibn Abbâs, Misykât al-Anwâr yang konon merupakan karya al-Ghazâli, bahkan karya lama seperti tafsir al-Fawâtih al-Ilâhiyyah yang baru diterbitkan pada tahun 2009 dikatakan oleh muhaqqiqnya sebagai karya dari Syeikh Abd al-Qadîr al-Jailânî.
Pada dasarnya tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa kitab Sirâj al-Thâlibîn mengalami problem otentisitas sebagaimana kitab-kitab yang penulis sebutkan di atas. Karena pada mulanya kitab ini sudah disepakati oleh sejumlah pihak bahwa kitab ini adalah karya dari Syeikh Ihsân Dahlân. Hanya saja pada awal tahun 2009 sebuah penerbit terkemuka di kawasan Beirut Libanon, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, menerbitkan kitab ini dengan nama penulis lain, yakni Syeikh Zainî Dahlân. Hal ini diperparah dengan dibuangnya Taqârîdz (semacam kata pengantar) yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’arî.
Beberapa pihak menduga bahwa kekeliruan ini sengaja dilakukan oleh penerbit tersebut demi mengangkat pangsa pasar. Karena di Timur Tengah nama Syeikh Ihsan Dahlan kurang popular dibangdingkan dengan Syeikh Zaini Dahlan. Kemudian masalah ini ditindak lanjuti oleh PBNU dengan meminta klarifikasi kepada penerbit tersebut serta memintanya untuk mengganti nama penulisnya dengan nama Syeikh Ihsân Dahlân kembali.
Di samping itu ada beberapa data yang mengokohkan dan mengukuhkan bahwa Sirâj al-Thâlibin adalah benar-benar karya Syeikh Ihsân Dahlân. Pertama, dalam muqaddimah kitab tersebut ditulis ungkapan:
“Seorang hamba yang mengharap ampunan Tuhannya, yang membutuhkan rahmat-Nya; Ihsân bin al-Marhûm Muhammad Dahlân al-Jampesi al-Kadiri –semoga Allah memperbaiki keadaan dan tingkah lakunya dan menutupi aibnya di dunia dan akhirat- berkata; kitab ini (sirâj al-Thâlibîn) adalah penjabaran yang singkat nan agung atas sebuah kitab yang berjudul Minhâj al-‘Âbidîn karya Seorang imam yang enerjik dan menjadi panutan semua golongan baik orang khâs maupun orang awam. Seseorang yang digelari Hujjat al-Islâm dan memberkahi umat manusia. Ulama yang kesempurnaannya terdengar di telinga semua orang. Reputasi karyanya berada di posisi yang sangat tinggi serta membuat para ulama-ulama lainnya menundukkan wajahnya karena kekaguman mereka atas karyanya. Ulama itu bernama Syeikh Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî –semoga Allah menyirami kuburannya dengan ampunan yang selalu mengalir-. Aku –Syeikh Ihsan- menulis kitab ini dengan tujuan untuk mengingatkan diriku sendiri juga untuk mengingatkan orang-orang yang lemah sepertiku. Aku namakan kitab ini dengan judul, “Sirâj al-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannat Rabb al-Âlamîn.”[6]
Data tersebut dipertegas dalam penutupan kitabnya dengan mengungkapkan;
“Akhirnya penulisan ini -dengan segala kesibukan penulis- telah selesai dalam jangka waktu sekitar delapan bulan. Pada waktu siang hari selasa dan bertepatan dengan tanggal 27 Sya’ban 1351 Hijriah. Penulisan ini dirampungkan di rumahku, daerah Jampes Kediri, salah satu kota di pulau Jawa.”[7]
Sebagaimana penulis sebutkan di atas, pada cetakan-cetakan selain yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Kitab ini diberikan Taqâridz (kata pengantar) oleh sejumlah ulama Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada ak hir jilid kedua dari kitab Sirâr al-Thâlibîn. Taqâridz ini juga mengukuhkan penisbatan kitab ini kepada Syeikh Ihsan, sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari;
“Lembah ilmu-ilmu di sepanjang masa selalu mengalir deras. Taman-taman disiplin ilmu akan selalu berbuah dan daunnya akan selalu hijau. Duhai Allah, ilmu-ilmu itu adalah perhiasan yang amat mulia dan amat menguntungkan. Mengangkat derajat pemiliknya kepada derajat yang tinggi. Pengkaji yang menyibukkan dengan ilmu akan memperoleh manfaat. Sementara ilmu yang paling tinggi nilainya dan paling baik penyebutannya adalah ilmu tasawuf, ilmu yang dapat menjernihkan hati dan watak. Ilmu yang merupakan pokok atau dasarnya ilmu, sementara ilmu lainnya adalah cabang. Karena ilmu ini berkaitan dengan keberadaan Tuhan, jalan menempuh kebahagiaan, dan kebagaiaan yang kekal. Dan salah satu kitab terbaik dalam bidang ini (tasawuf) dan yang dapat memberikan “pemahaman” kepada orang-orang yang berakal. Sebuah kitab yang dinamakan dengan “Sirâj al-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-Âbidîn Ilâ Jannat Rabb al-‘Âlamîn” karya seorang Âlim dan Allâmat, seorang yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas, yakni Syeikh Ihsan bin al-Marhum Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kadiri.”[8]
Di samping kata pengantar yang diberikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, ada komentar sekaligus pujian lain yang diberikan kepada Syeikh Ihsan dengan karyanya ini. Pujian tersebut datang dari seorang ulama asal Nganjuk Jawa Timur, KH. Abdurrahman bin Abdul Karim al-Sukri. Pujian lainnya juga datang dari ulama Kediri yang bernama Muhammad Yunus bin Abdullah. Ulama yang disebut terakhir ini berkata dalam kata pengantarnya:
Aku telah membaca sebagian isi dari naskah kitab ini, sebuah naskah yang merupakan penjabaran (atas karya al-Ghazali) yang sangat menawan. Aku menyambut gembira (atas naskah ini), kegembiraan yang dapat memberikan petunjuk atas kajian ini (tasawuf). Semoga Allah membalas kebaikan penulis kitab ini dan ulama-ulama semisalnya dengan sebaik-baiknya balasan.”[9]
Kitab ini juga telah mendapat sanjungan dari beberapa ulama Jawa terkemuka lainnya, sebut saja Syeikh Khazin Bendo Pare (Paman sekaligus gurunya saat beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren Bendo). Syeikh Muhammad Ma’ruf Kedunglo, Kediri.[10] Dan KH. Abdul Karim, Lirboyo Kediri.[11]
Dari paparan dan data-data yang penulis peroleh, bisa penulis simpulkan bahwa karya ini (Sirâj al-Thâlibîn) adalah karya Syeikh Ihsan Dahlan bukan karya dari Syeikh Zaini Dahlan sebagaimana cetakan yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.
Gambaran Umum Kitab Sirâj al-Thâlibîn
Sebagaimana sudah diketahui oleh masyarakat umum bahwa kitab ini merupakan sebuah kitab yang bergenre tasawuf. Sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang etika dsb. Sebagai karya yang merupakan penjabaran dari kitab Minhaj al-Abidin, karya al-Ghazali, tentunya penulisannya mengikuti dan menyesuaikan dengan gaya dan sistematika dari kitab asalnya.
Dalam mukaddimahnya, Syeikh Ihsan mengatakan bahwa apa yang beliau tulis dalam kitab Sirâj al-Thâlibin adalah hanya kumpulan pendapat-pendapat ulama, beliau tidak melakukan apapun kecuali hanya menukil, tandasnya.[12] Hemat penulis, hal itu tidak lain merupakan bentuk ‘andap-asor’ (Tawadhu’) dari Syeikh Ihsan sendiri, karena di dalam kitab tersebut Syeikh Ihsan tidak hanya menukil pendapat-pendapat orang lain melainkan juga mengelaborasi bahkan mengkontekstualisasikan term-term tasawuf ke dalam eranya. Sebagai misal, Syeikh Ihsan sampai menyimpulkan bahwa zuhud di zaman ini tidak hanya dilakukan dengan meninggalkan dunia secara total. Sebagaimana hasil wawancara tim NU Online terhadap KH. Abidurahman Masrukhin, salah seorang keturunan Syeikh Ihsan yang meneruskan pengajian Sirâj al-Thâlibîn di Pondok Pesantren Jampes Kediri;
Ajaran tasawuf zaman ini dalam Sirajut Thalibin, menurut Gus Abid adalah soal zuhud. Biasanya zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.“Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Kiai Ihsan sendiri adalah orang yang kaya raya,” katanya. Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. [13]
Kajian Hadis dalam Kitab Sirâj al-Thâlibîn
Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, urgensitas hadis tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu bukanlah hal yang aneh apabila seluruh kajian keislaman baik fikih, ushul fikih, nahwu, balaghah, tak terkecuali tasawuf memiliki hubungan yang erat dengan kajian hadis. Sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Syeikh Ihsan Dahlan ketika menjelaskan definisi tasawuf dalam mukaddimahnya pada kitab Sirâj al-Thâlibîn. Syeikh Ihsân menyatakan;
Adalah sebuah kewajiban bagi setiap orang yang akan mengkaji sebuah ilmu untuk mengetahui definisi, obyek dan subyek kajian, peletak dasar dan lain sebagainya dari disiplin ilmu yang akan dibahasnya. Dalam hal ini adalah kajian tasawuf;
Definisi: Ilmu yang mengkaji tentang keadaan sebuah jiwa dan sifat-sifatnya baik yang terpuji manupun tercela
Obyek pembahasan : Hati
Hasil (yang ingin dicapai) : Sebagai pengantar untuk membersihkan jiwa yang kotor dan dapat mencapai pengetahuan terhadap Tuhan.
Hukum mempelajari : Wajib secara individual.
Keutamaannya: Di atas segala ilmu-ilmu lainnya, karena ia dapat mengantarkan seseorang yang mengkajinya mencapai pengetahuan terhadap Tuhan-Nya.
Kaitannya dengan ilmu lainnya : Adalah ilmu pokok, sedangkan ilmu lainnya adalah ilmu cabangannya.
Peletak dasar : Para imam-imam besar dan yang telah mencapai makrifat terhadap Tuhannya.
Sumber : Dari kalamullah (al-Qur’an), hadis, dan petuah-petuah orang-orang yang telah makrifat.
Kajian yang dibahas: Ketentuan-ketentuan yang di dalamnya membahas tentang sifat-sifat sebuah wujud, seperti fana’, baqa’, introspeksi diri dan lain sebagainya.[14]

Jumlah hadis dalam kitab Sirâj Thâlibîn

Perlu dikemukakan di sini bahwa sejauh pencarian data yang penulis lakukan, masih sangat langka –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali- peneliti yang telah melakukan penelitian hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn. Tata letak dan penulisan hadis yang dilakukan oleh penerbit kitab Sirâj al-Thâlibîn masih terbilang sederhana. Dua hal ini menyulitkan penulis dalam penghitungan jumlah hadis yang terdapat dalam kitab ini.

Metodologi Penulisan Hadis

Penulisan hadis yang dilakukan oleh Syeikh Ihsan dalam masterpiecenya, Sirâj al-Thâlibîn, tidaklah tunggal. Artinya penulisan hadis terkadang diberikan keterangan mukharrijnya, seperti ketika menyebutkan hadis:
يسروا ولا تعسروا ، و بشروا ولا تنفروا
Syeikh Ihsan mencantumkan mukharrij hadis di atas, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Syaikhânî (Bukhari dan Muslim)[15]

Dalam kesempatan lain pada saat menuliskan beberapa hadis tentang keutamaan Nabi Muhammad saw., Syeikh Ihsan sama sekali tidak mencantumkan mukharrijnya, seperti dalam hadis berikut;
*لا تفضلوني عن الأنبياء
*لا تفضلوني عن يونس إبن متى
*لا تخيروني على موسى
*أنا أكرم الأولين والأخرين على الله ولا فخر أعظم من ذلك

Dalam bagian yang lain dari kitab Sirâj al-Thâlibîn, Syeikh Ihsan juga mencantumkan status sebuah hadis yang ditulisnya, meskipun hanya sekedar menukil pendapat muhaddis. Sebagaimana dalam hadis berikut:
إن الله تعالى يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها أمر دينها
Syeikh Ihsan menyatakan bahwa al-Irâqî dan lainnya mengomentari hadis ini dengan status shahih.[16]
Sumber rujukan kitab hadis yang digunakan oleh Syeikh Ihsan tidak hanya diambilkan dari kitab-kitab hadis kanonik, melainkan kitab hadis sekunder seperti Riyâd al-Shalihîn. Kutipan tersebut secara “terang-terangan” ditegaskan oleh Syeikh Ihsan, sebagaimana dalam hadis berikut:
إذا صليتم الصبح فأكثروا من الإستغفار ، فقلنا يا رسول الله علمنا شيأ نستغفر الله به، فقال قولوا اللهم إنا نستغفرك ونتوب إليك من كل ذنب علمناه أو لم نعلمه في ليل أونهار ، فمن واظب عليه فتح الله له بابا من الرزق وغلق عنه بابا من أبواب الفقر[17]
Di antara rujukan lainnya adalah kitab Tanqîh al-Qawl karya al-Nawâwî al-Bantânî. Yaitu pada hadis:
والملائكة يدخلون عليهم من كل باب سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار[18]
Meskipun demikian, bukan berarti Syeikh Ihsân jarang mengutip hadis langsung dari sumber aslinya. Bahkan –hemat penulis- dengan melihat kondisi penulisan kitab ini, sekitar tahun 1930 an, referensi hadis yang digunakan oleh Syeikh Ihsan sungguh luar biasa. Apalagi beliau tidak pernah belajar ke Timur Tengah. Tentunya sangat jarang sekali orang yang memiliki kitab-kitab “langka” seperti: Nawâdir al-Ushûl karya al-Hakim, Sunan al-Baihaqî, Mu’jam al-Thabrânî, dan lain sebagainya.

Di antara kajian hadis yang dipaparkan oleh Syeikh Ihsan bin Dahlan yang terdapat dalam kitab ini adalah
Perdebatan tentang periwayatan hadis secara maknawi (al-Riwâyat bi al-Ma’nâ). Dalam hal ini Syeikh Ihsan memaparkan perdebatan para ulama mengenai periwayatan secara maknawi, sebagaimana ia paparkan:
Sejumlah ulama telah memberikan sebuah keringanan atas periwayatan hadis secara maknawi di antara mereka adalah para pembesar sahabat: Sayyidina Alî bin Abû Thâlib, Sayyidina Abbâs, Anas bin Mâlik, Abû Dardâ’, Watsilah bin al-Asqa’, Abu Hurairah. Dan sejumlah tâbi’în yang sangat banyak jumlahnya seperti: Imam Hasan al-Bashrî, al-Sya’bî, Amr bin Dînar, Ibrâhîm al-Nakhâ’î, Mujâhid, Ikrimah. Data ini (menurut Syeikh Ihsan) diperoleh dari buku-buku biografi mereka. [19]

Dengan begitu fasihnya Syeikh Ihsân juga mengetengahkan metodologi penyelesaian hadis-hadis yang kontradiktif. Sebagaimana penjelasannya dalam menjelaskan penyelesaian para ulama dalam menghadapi dua hadis yang kontradiktif, yakni larangan minum sambil berdiri dengan perbuatan nabi yang justru pernah melakukan minum sambil berdiri. Dalam hal ini dia memaparkan;
Ketahuilah bahwa dua hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw. tentang minum sambil berdiri dan perbuatan nabi yang pernah minum sambil berdiri adalah shahih keduanya. Jam’ al-Haditsain atau pengkompromian kedua hadis sudah saya jelaskan sebelumnya. Ketika masih dimungkinkan untuk mengkompromikan kedua hadis yang bertentangan maka penkompromian adalah keniscayaan. Tidak boleh kita menaskhnya. Sementara untuk mengatakan kedhaifan hadis larangan minum sambil berdiri tidak pernah didengar, bahkan hadis tersebut ada dalam shahih muslim, sedangkan menghukumi bolehnya minum sambil berdiri dengan menjadikan perilaku para khalifah empat (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali) -yang pernah minum sambil berdiri- adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fikih, karena hadis nabi tidak bisa dibenturkan dengan prilaku sahabat.[20]
Syeikh Ihsan juga beberapa kali mengutip kitab al-Maudhû’at karya Ibn Jauzi dalam menilai kedhaifan sebuah hadis.[21] Yakni pada saat ia mengutip sebuah hadis yang terdapat dalam kitab al-Qût dan al-Awârif :
وإذا أكلت فابدأ بالملح واختم بالملح فإن الملح شفاء من سبعين داء الجنون والجذام والبرص ووجع الأضراس[22]
IV. Penutup
Sebagai sebuah karya tasawuf, Sirâj al-Thâlibîn juga memuat ratusan hadis yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan melihat literature hadis yang digunakannya serta kajian hadis di dalamnya, setidaknya Syeikh Ihsan memiliki kemampuan dalam bidang hadis yang tidak bisa diabaikan. Meskipun untuk mengkategorikannya sebagai muhaddis masih perlu pembuktian. Karena dengan makalah yang sederhana dan keterbatasan waktu dan data yang penulis miliki. Makalah yang penulis suguhkan sungguh masih jauh dari sempurna.
Wallahu A’lam bi al-Shawâb










































Daftar Bacaan
Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn Katsîr,1987)

Syeikh Ihsân Dahlân, Kitab, Kopi, dan Rokok, (Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2009)
-----------------------, Sirâj al-Thâlibîn, (Singapore-Jeddah; al-Haramain,tt)

-----------------------,Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-La’âlî al-Mashnû’ah Fi al-Ahâdits al-Maudhû’ah, (Beirut; Dâr Kutub al-Ilmiyyah,tt)
Imam Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh al-Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî,tt)


Website
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18568


[1] Syeikh Ihsân Dahlân, dalam pengantar buku terjemahan buku Kitab, Kopi, dan Rokok, (Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2009)cet.1,h.xv


[2] Seorang kiai terkemuka di daerah Kediri yang telah mencetak ulama-ulama handal dan produktif, di antara murid-muridnya yang menulis dan mentahqiq beberapa buku adalah; Syeikh Ihsan Dahlan, Syeikh Mahmud Cirebon (memiliki karya-karya yang sangat banyak dan mentahqiq dan mentashih kitab-kitab yang diterbitkan penerbit Al-Hidayah, Surabaya), Dr.KH.Sahal Mahfud (yang juga memiliki sejumlah karya seperti Syarh al-Luma’, Taqrîdz al-Ushûl Syarh Lub al-Ushûl, dll)


[3] Seorang Ulama terkemuka yang memiliki sejumlah karya dan beberapa di antaranya dikomentari oleh Syeikh Ihsan Dahlan.


[4] Ulama yang sering disebut “gurunya guru”, seorang ulama yang telah mencetak ratusan kiai yang tersebar di Nusantara, sebut saja; KH.Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Karim (Lirboyo), KH.Abdullah Abbas (Buntet), dan kiai-kiai besar lainnya.


[5] Ibid, h.xix


[6] Ihsân Dahlân, Sirâj al-Thâlibîn, (Singapore-Jeddah; al-Haramain,tt) vol.1, h.3


[7]Ihsân, Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt) vol.2, h. 542


[8] KH.Hasyim Asy’ari, kata pengantar dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta;Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)vol.2, h.543


[9] Muhammad Yunus bin Abdullah, kata Pengantar dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta;Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)vol.2, h.544


[10] Adalah seorang kiai terkenal di daerah Jawa Timur. Beliau adalah perintis Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri. Sebuah pondok yang berada sekitar 500 meter di sebelah timur Pondok Pesantren Lirboyo.


[11] Seorang murid sekaligus sahabat karib dari KH. Hasyim Asy’ari dan merupakan perintis sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sebuah Pesantren yang dikenal dengan kehandalannya mencetak pakar gramatikal, karena beliau dikenal dengan kepakarannya dalam bidan tersebut. Salah satu muridnya Prof. Dr.Rofi’i, guru besar UIN Jakarta, konon terkenal dengan julukan Sibawaihnya UIN Jakarta.


[12] Ihsan Dahlan, Sirâj al-Thâlibîn, h.3


[13] http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18568, diakses pada tanggal 11 maret 2011


[14] Ibid, h. 4


[15] Ibid, vol.1, h. 19. Dan memang benar hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, lihat: Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, bab Qawl al-Nabî Yassirû wa La Tu’assirû (Beirut: Dâr Ibn Katsîr,1987) vol.5, h.2269 dan Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahîh al-Muslim, bab al-Amr bi al-Taisîr wa Tark al-Tanfîr (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî,tt) vol.3, h.1359


[16] Ibid, vol.1, h.6


[17] Ibid, vol.2, h.30


[18] Ibid, vo.2, h.31


[19] Ibid, vol 1., h.21


[20] Ibid, vol.2, h.39-40


[21] Hadis tersebut juga didhaifkan oleh al-Suyuthi. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-La’âlî al-Mashnû’ah Fi al-Ahâdits al-Maudhû’ah, (Beirut; Dâr Kutub al-Ilmiyyah,tt) vol.2, h.312


[22] Ibid, vol.2, h.36

Hermenutika; Sebuah Sumbangan Terhadap Kajian Tafsir Hadis Oleh : Muhammad Idris Mas’udi

“Al-Hirminiyutiqa –idzan- Qadiyyatun Qadîmatun wa Jadîdah fi Nafs al-Waqt, wa Hiya fî Tarkizihâ ‘Alâ ‘Alâqat al-Mufassir bi al-Nash, laysat Qadiyyatan Khâshatan bi al-Fikri al-Gharbi, bal Hiya Qadhiyyat Lahâ Wujûduha al-Mulih fi Turâtsina al-Arabî al-Qadim wa a-Hadîts ‘Ala Sawâ’.” – Nashr Hâmid Abû Zayd

Rumusan ‘Ulûm al-Qur’an yang termuat dalam kitab-kitab kanonik mencakup segala hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tentang ke-alqur’an-an. Sebut saja al-Burhân, karya al-Zarkasyî, di dalam kitab tersebut terdapat ragam kajian tentang ilmu al-Qur’an; dari Makkiyah-Madaniyyah, Nâsikh-Mansûkh, Mujmal-Mubayyan, dan lain sebagainya. Cakupan yang begitu luas tersebut apakah memungkinkan adanya kajian-kajian baru seperti “hermeneutika” dapat dimasukkan dalam studi ‘Ulûm al-Qur’an atau -lebih umum lagi- menjadi piranti dalam memahami ilmu-ilmu keislaman lainnya?
Pertanyaan di atas menjadi semacam pertanyaan yang cukup problematis, karena jawaban yang keluar dari pertanyaan tersebut seperti sudah menjadi semacam simbol atau tanda ideologi seseorang. Misalnya, orang yang menjawab hermeneutika bisa dijadikan salah satu metode memahami ilmu-ilmu keislaman –seperti al-qur’an dan hadis- akan dicap sebagai agen Liberal, pengagum Orientalis, dan anggapan-anggapan miring lainnya. Sebaliknya, orang yang menjawab “haram” memasukkan kajian hermeneutika –oleh sebagian orang- akan dinilai sebagai muslim kaku. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, makalah di bawah ini hendak mendedahkan sebuah kajian hermeneutika serta sumbangannya terhadap kajian tafsir dan hadis.
A. Definisi Hermeneutika
Secara literal, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni Hermeneuein, yang berarti menjelaskan (erklären, to explain). Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman “Hermeneutik” dan bahasa Inggris “Hermeneutics”. Sementara sebagai sebuah istilah, hermeneutika didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Keberagaman dan kebertingkatan ini dikemukakan oleh Hans George Gadamer sebagaimana dikutip oleh Sahiron, bahwa sebelum digunakan sebagai disiplin keilmuan, istilah tersebut merujuk pada practice/techne (sebuah aktivitas) penafsiran dan pemahaman.
E. Sumaryono dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat mengatakan bahwa dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika dikaitkan dengan Hermes. Menurut mitos tersebut, Hermes bertugas menyampaikan pesan dewa kepada umat manusia. Sementara menurut Al-Jabiri dan Hosyen Nashr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris as. Yang di dalam al-Qur’an disebutkan sebagai guru tulis menulis, pengrajin, kedokteran, dan astrologi.
B. Hermeneutika dan Ilmu Tafsir
Istilah Hermenutika sebagai “ilmu Tafsir” pertama kali muncul ke permukaan pada sekitar abad ke- 17 M dengan dua pengertian; yaitu hermeneutika sebagai seperangkat metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai peggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tdak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl Braathen –sebagaimana dikutip Mujia Rahardjo- merupakan filosof yang mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dan menyatakan bahwa hermenutika adalah ilmu merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung unsure-unsur metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Pada mulanya hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan exegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi filsafat penafsiran kehidupan social. Friedrich Schleirmacher adalah filsuf yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari kajian Biblical Studies ke dalam ranah filsafat. Yang kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf setelahnya seperti Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai ilmu-ilmu kemanusiawian (Geisteswissenchaften), lalu Hans George Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jaqcues Derrida, Michael Foucault, dan lain sebagainya.
Hermenutika sebagai metode penafsiran tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah menyelami kandungan makna literalnya. Tidak hanya sampai di situ, hermenutika juga berusaha menggali makna dan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut; baik horizon author (muallif, pengarang), horizon reader (qâri`, pembaca), horizon setting historis munculnya teks (asbâb al-Wurûd).
Dr. Sahiron Syamsuddin mengukuhkan asumsinya tentang visibilitas hermenutika untuk diintegrasikan dalam kajian ilmu tafsir dengan tiga argumen;
1. Secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana memahami dan menafsirkan secara benar dan cermat.
2. Perbedaan keduanya adalah selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan obyek kajiannya; hermenutika sebagaimana telah disinggung di atas, mencakup seluruh obyek penelitian dalam ilmu social dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa atau teks), sementara ilmu tafsir juga –bahkan- hanya mengkaji tentang teks. Teks sebagai obyek inilah yang mempertemukan dan mempersatukan antara hermeneutika dan ilmu tafsir.
3. Memang benar bahwa obyek utama ilmu tafsir adalah teks al-Quran, sementara obyek utama hermenutika pada awalnya adalah bible, di mana proses pewahyuan antara kedua kitab suci ini jelas berbeda. Dalam hal ini, mungkin ada sebagian orang yang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an dan juga sebaliknya. Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim, sementara bible diyakini oleh umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermenutika maupun ilmu tafsir (konvensional, pen).
Hermeneutika dan Ilmu Hadis
Sebagaimana dalam kajian al-Qur’an yang memiliki kajian Asbâb al-Nuzûl, kajian hadis juga memiliki sebuah kajian Asbâb al-Wurûd. Salah satu fungsi dari kajian ini adalah mengetahui konteks historis munculnya sebuah teks hadis. Kajian ini menjadi sangat urgen dalam kaitannya memahami maksud Sabda Nabi Muhammad Saw. Dan juga untuk mengkontekstualisasikannya dalam era kedisinian, kekinian, dan keindonesiaan. Sebab, diakui atau tidak, ada sejumlah hadis Nabi Saw. Yang terpengaruh oleh budaya Arab. Sebagai misal, hadis-hadis yang menerangkan tentang pakaian Nabi Saw. Seperti Jubah, Gamis, Sorban yang di lipat di kepala (jawa :udeng-udeng).

Sebagaimana urgennya kajian Asbâb al-Wurûd dalam hadis, hermeneutika juga dapat membantu dalam mengkontekstualisasikan sebuah hadis. Seperti kajian tentang psikologis author (Nabi) dalam memahami sabdanya. Memahami psikologis nabi dalam literature ushul fiqh klasik juga sudah diupayakan oleh ulama klasik, Abu Hanifah, yakni dengan menggunakan konsep disparitas. Sebuah konsep yang membagi posisi dan kedudukan Nabi dalam bersabda. Konsep ini mengandaikan bahwa dalam diri Nabi Muhammad saw. Terdapat tiga posisi; Sebagai kepala Negara, sebagai nabi, dan sebagai manusia biasa. Atau memahami psikologis sang penanya dalam hadis yang bernuansa tanya jawab. Memahami psikologis sahabat nabi yang menjadi penanya dalam sebuah hadis adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana memahami hadis tentang keutamaan amal yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Di antara hadisnya adalah:
Saya (Abdullah bin Mas’ud) bertanya kepada Rasulullah Saw., “Amalan apakah yang paling disukai Allah?” Nabi Menjawab, “Shalat pada waktunya” Dia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Nabi menjawab, “ Berbakti kepada orang tua.”
Hadis ini menurut beberapa ulama seperti Ibn Daqîq al-‘Îd tidak memiliki cakupan yang umum, akan tetapi bersifat kondisional dan khusus. Yaitu karakter dan psikologi Abdullah bin Mas’ud sangat dipertimbangkan oleh Rasulullah Saw. Dalam menjawab pertanyaannya. Karena hadis lain tentang amalan utama justru tidak menempatkan “Shalat pada waktunya” sebagai amalan utama . Hal ini segendang sepenarian dengan hermeneutika Schleirmacher yang mengedepankan aspek Psikologis author (dan penanya) dalam memahami sebuah teks. Pendekatan psikologis dalam hadis ini juga pernah dikemukakan oleh pakar Maqâshid Syarî’ah, Izzuddin bin Abd Salam, dalam magnum opusnya “Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm”.
Penutup
Dari beberapa paparan yang telah penulis kemukakan di atas, setidaknya bisa dapat disimpulkan bahwa hermeneutika dalam kajian tafsir hadis memiliki peran yang cukup urgen. Kemudian, meskipun pada mulanya hermeneutika adalah produk Barat, bukan berarti hermeneutika tidak bisa digunakan dalam kajian studi keislaman. Karena sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas, hermeneutika memiliki pijakan referensial yang cukup kukuh dan kokoh dalam tradisi keislaman masa lampau. Karena sejatinya hermeneutika merupakan pengembangan dari kaidah ushul fikih popular “al-Ibrah bi Khusûs al-Sabab la bi Umûm al-Lafdzi” yang merupakan lawan dari kaidan “Al-Ibrah bi Umûm al-Lafdz la bi Khusûs al-Sabab.” Jika demikian faktanya, maka sungguh tepat bila Nashr Hamid Abû Zayd –sebagaimana penulis tulis dalam prolog tulisan ini- mengatakan bahwa heremeneutika adalah kajian lama sekaligus kajian baru. Kajiannya berkisar tentang relasi antara penafsir dengan teks, bukan hanya diskursus pemikiran di Barat, melainkan diskursus yang wujudnya ada dalam turats Arab. Dengan data-data yang mengukuhkan urgensitas hermeneutika di atas, masihkan umat muslim memperdebatkan kelayakan hermeneutika atau bahkan menganggapnya ilmu “kafir”? Sungguh tidak bijak jika kita menolak hermeneutika secara apriori, bukan?

Wallahu A’lam bi al-Shawâb

Daftar Bacaan
Nashr Hâmid Abû Zayd, Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyat at-Ta’wîl (Kairo; Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabi, 1994) cet III, h.94
Al-Zarkasyî, al-Burhân (Beirut; Dâr Fikr, 2006)
Al-Suyûthî, al-Itqân (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyyah, 2008).
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta; GIP, 2006).
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulum al-Qur’an (Jogjakarta: Pesantren Nawesea, 2009)
E. Sumaryo, Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat (Jogjakarta: Kanisius, 2003) cet.III
Irwan Masduqi dkk, Kontekstualisasi Turats; Hermeneutika Poros Tengah, (Kediri; Kopral 2005) cet.1, h. 16
Prof. Dr. Mudjia Rahardjo M.Si, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian (Jogjakarta: Arruz Media, 2008) cet.1, h.30
Ibn Daqîq al-îd, Ihkâm al-Ahkâm Syarh ‘Umdat al-Ahkâm (Beirut: Maktabah al-Sunnah Nabawiyyah, tt)
Izzudin bin Abd Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm (Beirut: Dâr Kutub al-Imiyyah, 2008)
Jurnal Al-Insan vol.II, tahun 2006

Kamis, 02 Desember 2010

Tafsir Maqashidi : Sebuah Tawaran Penafsiran

“Al-Qur’an adalah sumber hukum yang bersifat universal. Ia juga memuat pokok ajaran agama, Serta didalamnya terkandung berbagai macam hikmah-hikmah.”al-Syathibi

“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi

“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh Waliyullah al-Dahlawi

Prolog

Al-Qur’an adalah miracle (mukjizat) yang diturunkan oleh Allah kepada nabi pamungkas Muhammad saw. Disamping itu al-qur’an juga merupakan verbum dei (kalamuLlah) yang telah menyedot perhatian sarjana-sarjana klasik maupun kontemporer untuk mengkajinya.[1] kajian-kajian tentang al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana-sarjana muslim. Para orientalis-orientalis Barat juga banyak yang terpikat untuk mengkaji kitab umat muslim itu.

Nabi Muhammad adalah mubayyin sekaligus mufassir otoritatif atas teks-teks suci al-qur’an. Namun, tidak semua ayat-ayat al-qur’an telah ditafsirkan dan dijelaskan oleh beliau. Salah satu hikmah dari sedikitnya nabi Muhammad menafsirkan al-qur’an adalah ruang gerak para mufasir menjadi begitu luas. Sehingga amatlah wajar bila dalam perkembangan selanjutnya penafsiran-penafsiran al-qur’an sangat variatif.

Seiring dengan melesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, serta bertubi-tubinya problematika yang harus dihadapi oleh umat manusia membawa dampak yang cukup massif atas perkembangan pendekatan-pendekatan penafsiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, globalnya bahasa yang terdapat dalam al-quran, serta berakhirnya wahyu pasca wafatnya nabi Muhammad, membutuhkan penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai perkembangan zaman. Kedua, Alquran sebagai kitab suci yang bersifat selalu relevan di setiap ruang dan zaman (up to date /Shalih Li Kulli Zaman Wa al- Makan) harus selalu memberi solusi terhadap problematika umat. Sehingga perkembangan tafsir adalah suatu keniscayaan.

Kajian-kajian seputar al-Qur’an selalu diminati oleh umat manusia. Tak terkecuali kajian tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari metode penafsiran klasik seperti tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi hingga tafsir ala hermeneutika yang digulirkan oleh beberapa kalangan kiri islam, selalu ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan diperdebatkan.

Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar tafsir maqashid, sembari sedikit menengok sejarah maqashid syari’ah sebagai cikal bakal terinspirasinya gagasan tafsir maqashidi.

Sekilas tentang sejarah kemunculan Maqashid Syari’ah

Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshad yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.[2]

Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H) [3] adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.[4]

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5]

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.

Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali. Di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:

1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer),
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)

Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi lima kategori:

1.Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain.

2.Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.

3.Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.

4.Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.

5.Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.[6]

Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi, bukan hanya al-Ghazali , karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.[7]

Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.

Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya. Maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah.

Hemat penulis, pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah. Namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur -seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh-, menyatakan “kajian maqashid syari’ah yang ia tempuh mengikuti metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.

Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan mengupas tokoh-tokoh klasik yang intens mengkaji maqashid syari’ah. Penulis mencoba mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain.[8]

Definisi Tafsir Maqashidi

Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.

Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.

Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. [9]

Awal Kemunculan Tafsir Maqashidi

Diskusi tentang kajian al-Qur’an dilakukan pada pertengahan April 2007 yang lalu. Simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda, Maroko. Kegiatan ilmiah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqashid syari’ah).[10]

Sebenarnya topik seputar tafsir maqashidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) yang mengangkat tema tentang ‘tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi’, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabit al- Tafsir al Maqasidi li al- Qur’an al- Karim (ketentuan tafsir maqashidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda, Maroko, dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April 2007 tersebut.[11]

Kajian tafsir maqashidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqashidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.[12]

Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penafsiran

Memahami tentang maqashid syari’ah bagi seorang mufassir dinilai sangat urgen. Karena maqashid syariah merupakan salah satu piranti penafsiran yang tidak boleh diabaikan bagi mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh al-Fasi dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari’ah Wa Makarimuha , sebagaimana disitir oleh DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, “ Ketika seorang mufassir hendak menafsirkan ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan penjelasannya baik dari ayat al-Qur’an sendiri, hadis nabi atau pendapat sahabat, maka mufassir tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan, “ Namun penafsiran mufassir dalam keadaan di atas (tidak adanya penjelasan dari al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat) harus mempertimbangkan maqashid syari’ah, bahkan ia harus berpijak darinya”.[13]

Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Poin inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam.[14]

Pada saat yang sama, tafsir maqashidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klasik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al-Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.[15]

Aplikasi Maqashid Syari’ah dalam penafsiran

Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua, buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna, Tunisia, Tahir Ibn Asyur, dan ketiga, pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga merupakan seorang pimpinan revolusi Islam di Iran.[16]

Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqashid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqashid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al-qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan termasuk al-qadzf (pencemaran nama baik). Dalam menyikapi kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqashid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf.


Begitu juga dengan buku tafsir at- Tahrir wa at Tanwir, karya Ibn Asyur, dalam hal ini, penulis kontemporer al-Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at- tahlil al- maqashidi (penguraian ayat ditinjau dari sisi Maqasid syari’ah).

Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at- Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khomaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; al- Riwa’I (riwayat), al-Irfani (hikmah), dan at- Tadabbur al-Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Iran.[17]

Epilog

Dari secuil pemaparan tentang tafsir maqashidi di atas, setidaknya bisa ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, beragamnya problem kekinian menuntut kita untuk memberikan jawaban atas isu-isu yang berkembang. Kedua, Kita sebagai kaum terdidik dan terpelajar tidak boleh untuk bersikap apriori dalam masalah ini. Karena itu inovasi-inovasi metode penafsiran yang berkembang dalam ranah tafsir harus kita apresiasi.Ketiga, tafsir maqashidi juga memiliki pijakan referensial yang kokoh. Karena secara genealogis maqashid syari’ah merupakan salah satu kajian ushul fikih klasik. Berbeda dengan hermeneutika yang asal-usulnya merupakan bagian dari kajian penafsiran bibel yang pada satu titik terdapat kerancuan-kerancuan. Sehingga hermeneutika, menurut sebagian kalangan, tidak boleh diterapkan sebagai metodologi penafsiran al-Qur’an. Premis-premis di atas merupakan sebuah alasan yang tak terelakkan untuk diterimanya tafsir maqashidi oleh semua kalangan.

Alhasil, tafsir maqashidi diharapkan mampu memberikan sebuah tawaran untuk menjadi sebuah tafsir alternative dalam memberi solusi-solusi atas problematika kontemporer yang kian tak terbendung.

Wallahu A`lam bi al-Shawab

End Note

* Adalah Mahasiswa semester 3 fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta

[1] kaum sunni beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, berbeda dengan keyakinan muktazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

[2] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Ta’rifat Wa Muqaddimah, Di akses dari www.raisuni.org

[3] Para sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya beliau

[4] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Al-Kitabah Fi al-Maqashid, diakses dari www.raisuni.org

[5] DR.Ahmad raisuni, al-Bahs Fi Maqashid al-Syari’ah:Nasy’atuhu wa Tathawurruhu wa Mustaqbaluhu, diakses dari www.raisuni.org

[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa

[7] DR.Ahmad raysuni, ibid

[8] Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashid Syariah al-Islamiyyah, Mesir: Dar al-Salam, cet II 2007 h.139
Arwani Saerozi, MA dalam artikelnya yang berjudul ‘memperkenalkan tafsir maqashidi’, diakses dari http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah Wa ‘Alaqatuha Bi Adillah Al-Syar’iyyah , Riyadh: Dar Hijrah, cet I, vol I h.487


[14] Arwani Syaerozi

[15]Ibid

[16](Ahkam al Qur’an: jld. 3 hlm. 342) dalam arwani-saerozi http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

[17] Abd. Salam Zainal Abidin, Manhaj imam al Khomaini fi at Tafsir: 1998, dikutip dari, Arwani Saerozi dalam, http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

Pluralisme Agama Menurut Thabathaba'i

"Tesis Goldziher dalam Madzahib Tafsirnya bahwa para mufassir Syi'ah Imamiyah tidak mau mengutip pendapat sahabat dan tabi'in ternyata keliru. Buktinya Thabathaba'i berkali-kali mengutip pendapat mereka. Bahkan hebatnya ia mau merefer kitab-kitab Sunni.!!" ‘Ali al-Awsiy"
I. MENGENAL THABÂTHABÂ’Î
A. Riwayat Hidup

Al-Thabâtabâ'î bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza ‘Alî Ashghar Syaikh al-Islâm al-Thabâthabâ’î al-Tabrîzî al-Qâdhî. Nama al-Thabâtabâ'î adalah sebuah nama yang dinisbatkan kepada salah satu kakeknya, yakni Ibrâhîm Thabâthabâ bin Ismâ’îl al-Dîbâj. Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya (terhadap agama, pen). Nasabnya bersambung hingga Nabi Muhammad Saw., dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Semua kakek-kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka dan terkenal di kota Tabriz.[1]
Al-Thabâtabâ'î tumbuh berkembang dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tradisi keilmuan. Sistem pendidikan yang diperolehnya sedari kecil adalah sistem pendidikan khusus yang dikenal dengan sebutan sistem pendidikan Hauzah. Ia begitu aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid-masjid.[2]
Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan al-Thabâtabâ'î dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.[3]


B. Karir Intelektual

Perjalanan panjang al-Thabâtabâ'î dalam mencari intelektualitasnya dimulai di kota kelahirannya, Tabriz. Kemudian pada tahun 1903 M, ia pindah ke kota Najf. Di kota Najf, ia sempat bermukim selama sekitar sepuluh tahun lamanya. Selama rentang waktu sepuluh tahun tersebut, ia sudah mendapatkan berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Hingga ia menggondol predikat mujtahid yang layak untuk melakukan ijtihad. Kemudian setelah bermukim di Najf, ia kembali ke tanah kelahirannya. [4]
Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali melakukan pengembaan intelektualnya ke daerah Qum dan menetap di sana. Tidak lama kemudian, namanya semakin dikenal hingga di luar Iran, lebih-lebih ketenarannya dalam bidang tafsir dan filsafat.
Ali al-Awsy mengomentari sistem pendidikan yang ditempuh oleh Tabhâtabhâ’î adalah sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ditempuh Tabhâtabhâ’î melalui tiga tahapan, yakni sebagai berikut;
Pendidikan dasar atau awal (Dirâsah al-Muqaddimâh). Pada tingkat dasar ini, ia mengenyam pelajaran-pelajaran seperti Mantiq, Nahwu, Sharf, Balaghah, Arudh, Fiqh dan Ushul Fiqh dasar.
Pendidikan menengah (Dirâsah al-Suthûh). Pada tingkat ini, ia menikmati pelajaran kajian kitab-kitab Fiqh, Ushul Fiqh, dan Filsafat.
Pendidikan luar atau pendidikan tinggi (Dirâsah al-‘Ulyâ). Sebuah tingkat pendidikan yang mengedapankan analisa dari seorang pelajar. Pada tingkat ini para pelajar disuguhi beberapa pendapat ulama dalam berbagai disiplin, kemudian menganalisa berbagai pendapat dan mentarjihnya.[5]

Mengenai kemampuan al-Thabâtabâ'î dalam bidang fiqh dan usul fiqh ini, Sayyid Husain Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.[6]

Al-Thabâthabâ'î belajar Fiqh dan Ushul Fiqh di bawah asuhan dua ulama besar, Syaikh Muhammad Husain al-Nâînî dan Syaikh Muhammad Husain al-Kimbânî. Sementara dalam disiplin ilmu Filsafat ia belajar di bawah bimbingan Sayyid Husain Al-Bâdikubî. Kemudian dalam bidang ilmu Etika ia belajar kepada Al-Haj Mirzâ ‘Alî al-Qâdhî[7]

Sebagaimana ulama-ulama hebat lainnya, karena ketenaran dan kehebatan intelektualnya, al-Thabâtabâ'î juga memiliki jumlah murid yang sangat banyak. Di antara muridnya yang paling terkenal di seantero dunia, khususnya di dunia Muslim adalah Sayyid Muhammad Murtadhâ Muthaharî.[8]

Al-Thabâtabhâ'î wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan disana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya.


C. Karya-karyanya yang lain

Dalam bidang tulis menulis, al-Thabâtabâ'î juga termasuk penulis produktif yang menghasilkan karya-karya orisinil. Di samping karya monumentalnya, Tafsir al-Mîzân, Al-Thabâtabâ'î juga memiliki karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah:
Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian dan Mmpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat Tuhan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul) berbahasa Arab.
Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-Arba’ah) berbahasa Arab.
Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi`ah) berbahasa Arab.
Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.[9]


II. MENGENAL TAFSIR AL-MIZAN
Iran pada saat penulisan

Sudah menjadi sebuah ketentuan akademik bahwa mengkaji pemikiran seseorang harus mengetahui situasi dan kondisi yang mengitari penulisnya. Hal ini dimaksudkan agar menjadi salah satu piranti dalam memahami pemikiran penulis secara utuh. Karena sebuah teks tidak berada dalam ruang yang hampa.

Dalam hal ini, penulis akan mencoba menelusuri sejarah situasi dan kondisi Iran (lebih khusus daerah Tabriz dan Najf) yang menjadi tempat kelahiran sekaligus tempat ditulisnya tafsir al-Mizan karya Thabâthabâ’î.

Kota Tabriz adalah kota subur yang banyak melahirkan ulama-ulama yang membaktikan dirinya untuk agama dan Negara. Hasil karya mereka tidak hanya dalam bentuk bahasa Persi, melainkan juga dalam bentuk bahasa Arab ataupun Inggris.

Berbeda dengan Tabriz, Najf, kota yang dikunjungi oleh Thabâthabâ’î dalam pengembaraan intelektualnya, sebagaimana penjelasan dari Muhammad Mahdi al-Isfahani – yang dikutip oleh Evra Wilya dalam disertasinya- adalah kota kering. Kondisi ini sesuai dengan namanya al-Najf atau al-Najfah yang berarti daerah yang tidak bisa dialiri air atau kering. [10]

Situasi dan kondisi politik kota Najf antara tahun 1923-1933, kurun waktu ketika Thabâthabâ’î belajar di Najf, berada dalam pergolakan social dan politik sebagai imbas dari Perang Dunia Pertama. Setelah inggris menguasai Iran, maka dengan sendirinya najf, dahulu sebagai wilayah kekaisaran Utsmaniyyah, terlepas. Keadaan ini memberi bias bagi penduduk untuk melakukan pemberontakan. Masyarakat mendirikan sebuah lembaga dan organisasi dalam menghimpun kekuatan untuk melawan penjajahan Inggris.[11]


B. Proses penulisan

Tafsir al-Mîzân terdiri dari delapan ribu empat puluh satu halaman (8041). Kitab berbahasa Arab ini telah dicetak hingga tiga kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Mula-mula tujuan Thabâthabâ’î menulis kitab tafsir ini adalah untuk dijadikan mata kuliah di Universitas Qom, Iran. Kemudian mahasiswa-mahasiswanya mengusulkan agar tafsir yang masih berbentuk makalah-makalah tersebut untuk dibukukan menjadi sebuah kitab tafsir. Kemudian Thabâthabâ’î mengabulkan permintaan mahasiswa-mahasiswanya dengan menerbitkan volume pertama dari kitab tafsir ‘gemuk’ ini pada tahun 1956 M. Selanjutnya volume-volume berikutnya dirampungkan olehnya hingga mencapai dua puluh volume.


C. Sekilas tentang al-Mizan

Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa kitab ini hingga tahun 1995 telah diterbitkan selama tiga kali. Dan jumlah volume dari tafsir ini adalah dua puluh. Penulis tidak mendapatkan data-data akurat terkait perkembangan penerbitan kitab ini, baik tentang jumlah penerbitan buku hingga tahun 2010 ini, atau nama-nama penerbit yang menerbitkan buku ini.

III. KARAKTERISTIK PENAFSIRAN AL-MIZAN
A. Sumber penafsiran yang dominan

Tafsir al-Mizân sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang bertitel Dalîl al-Mizân adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.[12]

Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua; Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’tsûr.[13] Sementara kitab tafsir al-Mizân karya Thabâthabâ’î ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (baca; Bi al-Ma’tsûr). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan Thabâthabâ’î sesuai dengan bukti.”[14]

Sementara hemat penulis, sumber penafsiran kitab tafsir al-Mizân tidak hanya berdasarkan Bi al-Ma’tsur. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur’an, seperti pendekatan lingusitik, filosofis, sejarah, teologi dan sebagainya. [15]

Di samping itu, Thabâthabâ’î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir al-Manâr dan sejumlah tafsir lainnya.

Selain merujuk pada tafsir-tafsir lain, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisân al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, Thabâthabâ’î juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[16]


B. Kecenderungan perspektif penafsiran

Kecenderungan Thabâthabâ’î dalam menafsirkan al-Quran secara umum penulis kategorikan sebagai tafsir yang multi disiplin. Artinya, segala bidang keilmuan hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabâthabâ’î dalam bidang filsafat.

C. Langkah penafsiran

Langkah atau sistematika penafsiran Thabâthabâ’î dalam tafsir al-Mizân (sebagaimana terlampir dalam halaman lampiran) adalah dimulai dengan penjelasan seputar mufradât (arti kalimat), kemudian penjelasan dari segi hukum, teologi, dan diakhiri dengan kajian berbagai riwayat.

Tampak dari uraian-uaraian yang telah disampaikan bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Thabâthabâ’î yang meliputi:[17]
Dalam kitab tafsirnya, al-Thabâthabâ’î memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi`ah saja.
al-Thabâthabâ’î menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir[18] baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in menjadi pertimbangan al-Thabâthabâ’î ketika menafsirkan suatu ayat.
Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Thabâthabâ’î, sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur’an.
Menurut al-Thabâthabâ’î, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut al-Thabâthabâ’î adalah Nabi dan para imam Ahl al-Bayt.[19]
Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Thabâthabâ’î hanya sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-Thabâthabâ’î berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.


Di samping itu, Thabathabâ’î juga memiliki perhatian yang cukup dalam menjelaskan tentang kajian makkiyah dan madaniyyah sebuah ayat.[20]

IV. PLURALISME MENURUT THABÂTHABÂ’Î
A. Tafsir Thabathaba’i atas ayat tentang pluralisme

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة/62)

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Thabâthabâ’î mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-Mantsûr, karya al-Suyûthî bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbâb al-wurûd) tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisî bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang posisi ahli kitab yang hidup bersamanya, kelak di akhirat? Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya . Lalu turunlah ayat di atas.

Al-Thabâthabâ’î menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata iman (من أمن) adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni kebahagiaan yang dijanjikan oleh ayat di atas tidak diharuskan beragama Islam, orang-orang Yahudi, Nashrani. Melainkan orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan.[21]

B. Tafsir Mufassir lain atas ayat tentang pluralisme

Sementara Imam al-Qurthûbî mengutip pendapat dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas telah dinasakh dengan ayat yang berbunyi:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ [آل عمران/85]

“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.”[22]

Dilain pihak, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyafnya memberikan komentar atas ayat di atas dengan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah, akan selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh serta masuk Islam dengan tulus.[23]

C. Analisis Perbandingan

Dari ketiga pendapat para mufassir di atas setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa perbedaan pendapat antara Thabâthâba’î dengan al-Qurthûbî adalah berangkat dari permasalah Naskh. Bagi Thabâthabâ’î, Naskh dalam ayat ini tidak terjadi, karena naskh hanya berkaitan dengan masalah hukum, bukan dalam masalah ancaman dan janji sebagaimana ayat di atas. Sementara bagi al-Qurthubi, naskh bisa dilakukan dalam wilayah non hukum.

Sedangkan pendapat al-Zamakhsyari bermula dari redaksi kewajiban beriman kepada Allah dipahami bahwa secara implisit ayat itu bermakna keharusan masuk Islam.

V. Kesimpulan


Dari contoh ayat yang penulis suguhkan di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa penafsiran Thabâthabâ’î adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik bi al-Ma’tsûr maupun bi al-Ra’yi.

Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian pluralism agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti pada riwayat-riwayat. Melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga dieksplornya dalam kajian ini.

Perangkat tafsir yang digunakan oleh Thabâthabâ’î dalam menafsirkan ayat pluralism di atas, pada gilirannya akan menyimpulkan sebuah tesis bahwa keselamatan di akhirat tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, melainkan juga dimiliki oleh umat non Muslim lainnya, dengan syarat ia mengimani Allah, Hari Akhir, dan Berbuat kebaikan.


Wallahu A’lam

Daftar Pustaka


‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985)
Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M)
-------------, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995)
Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994)
Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009)
Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral)
Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985)
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)


[1] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985) cet 1. h.44

[2]Ibid

[3] Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M), hlm. 15.

[4]Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994) cet. 1 h. 703

[5]‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.46

[6] Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009), hlm. 21

[7] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î, op.cit. h. 47-48

[8] Ibid

[9]Ibid

[10] Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral) hal.98

[11] Ibid

[12] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985) cet 1. h. 7

[13] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2. h.10-69

[14] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân, op.cit h. 7

[15] Sebagaimana yang tertulis dalam setiap cover dalam dari tiap-tiap volume kitab tafsir al-Mizân. Hal ini juga dibuktikan dengan sistematika penulisan tafsir tersebut.

[16] Mengenai rujukan-rujukan Thabâthabâ’î terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.49-70

[17] `Ali al-Awsi, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M).

[18] Mutawatir, dalam ilmu al-hadis, adalah hadis-hadis yang dirwayatkan oleh lebih dari dua orang dalam setiap tingkatannya (tabaqat).

[19] al-Tabataba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M), hlm. 47.

[20] Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.114-118

[21] Sayyid Muhammad Thabâthabâ’î, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995) cet 8. Vol. 1 h 193

[22] Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 1. h. 394

[23] Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) vol.1, h.137


Pondok Pesantren Sebagai Gerbang Peradaban Keislaman Indonesia; Sebuah Ikhtiar Membangun Peradaban Keilmuan Indonesia

“Keberadaan lembaga pendidikan khas Nusantara ini (pondok pesantren, pen), sangat membantu pencerdasan kehidupan bangsa Indonesia.” Kojiro Shiojiri (Duta Besar Jepang untuk Indonesia).

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang telah berusia ratusan tahun. Sebuah lembaga pendidikan yang sampai saat ini masih bertahan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan.

Menurut Dr. KH. Said Aqil Siradj asal muasal lembaga pondok pesantren sangatlah sederhana dan simple. Seorang ulama yang telah belajar di berbagai pesantren, bahkan sampai ke Timur Tengah datang ke sebuah kampong. Kemudian mendirikan langgar/musholla/surau untuk menampung masyarakat dalam shalat berjamaah. Kealiman ulama tersebut yang terlihat melalui pengajian yang diadakannya kian hari kian terdengar dan tersebar ke berbagai daerah. Kemudian semakin hari jamaahnya pun kian bertambah, jika awalnya hanya penduduk sekitar yang dapat dihitung jari, lambat laun masyarakat dari berbagai daerah pun berbondong-bondong untuk menimba ilmu kepada ulama tersebut.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan ‘tradisional’, setidaknya pondok pesantren telah memberikan dua kontribusi penting yang tidak bisa dianggap sepele. Pertama, gerakan-gerakan proto-nasionalis yang mulai tumbuh sejak abad ke-18 M banyak berhimpun di seputar pesantren dan guru-guru Agama Islam. Hal itu dapat dilihat dari Perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Jawa Temgah (1825 M- 1830 M). Keberadaan gerakan-gerakan tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan republik Indonesia. Kedua, pondok pesantren menjadi pusat pengembangan agama Islam yang paling utama dan terlembagakan. Di samping itu, pesantren di Nusantara mengambil model yang khas dan berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah. Sehingga pesantren mampu menghadirkan suatu bentuk Islam Nusantara yang unik, namun dengan berbagai kompleksitasnya.

Dr. KH. Said Aqil Siradj juga menyatakan, “Berdirinya Republik ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu juga dengan lenyapnya komunis serta gerakan pengacau Republik Indonesia.”

Di negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini, pondok pesantren terbukti mampu bertahan di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi. Bahkan di berbagai daerah, pondok pesantren dengan berbagai macam modelnya mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Data statistik pedepontren merilis jumlah pesantren di Indonesia, jumlah pesantren di Indonesia adalah 24.206 pesantren, dengan perincian; Pondok pesantren salaf 13.477 (56 %) , pondok pesantren modern 3.165 (13%), dan pondok pesantren terpadu (kombinasi antara salaf dan modern) 7.564 (31%).

Penelitian ini adalah sebuah ikhtiar menggagas sistem pendidikan ideal bagi lembaga pondok pesantren sebagai gerbang peradaban Islam di Indonesia. Peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengambil latar pondok pesantren dan yang menjadi obyek penelitian adalah Pengasuh, pengurus, dan sejumlah mahasantri pondok pesantren Darus-Sunnah. Pengumpulan data akan didasarkan pada observasi, interview, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan. Kemudian mengolahnya sebagai premis-premis dalam memperoleh kesimpulan.

Senin, 26 April 2010

Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’

Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’
Oleh ; Muhammad Idris Mas’udi

“Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme memiliki dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-, meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.” Edward Sa’id
“Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph Schacht, suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb
“Joseph Schacht telah berhasil membuat teori dasar-dasar hukum Islam yang tidak terbantahkan.” Coulson

Muqaddimah
Mengkaji hadis pada era sekarang ini akan terasa hambar bila tidak sampai mengkaji terhadap kajian kritik hadis orientalis. Hal ini bukan saja dikarenakan sebuah tuntutan akademik, melainkan juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, di antaranya adalah banyaknya para pengingkar hadis yang disebabkan keterpengaruhan mereka terhadap postulat-postulat yang diajukan oleh para orientalis. Untuk itu, bagi pengkaji hadis, mengetahui kritik hadis ala orientalis, sekaligus kritik terhadap kritik orientalis adalah sebuah keniscayaan.
Berangkat dari kesadaran di atas, penulis mencoba mendedahkan proyek kritik hadis menurut salah seorang orientalis garda terdepan, Joseph Schacht, yang telah mencurahkan masa hidupnya untuk mengkaji, mendalami, dan mengkritik kajian-kajian keislaman yang telah mapan, tak terkecuali hadis. Kajian yang dia lakukan diproyeksikan untuk meruntuhkan orisinalitas dan validitas hadis.
Sebagai insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadis untuk berkecimpung dan mendalami ‘perang pemikiran’ dalam ranah hadis (Ghazwah al-Fikr Fi al-Hadîts Wa ‘Ulûmihi). Karena, hadis yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri. Bahkan ia sudah menjadi ‘concern’ para orientalis-orientalis Barat. Sebab, diakui atau tidak, kajian-kajian yang disuguhkan orientalis Barat cukup berpengaruh terhadap pemikiran keislaman dewasa ini, baik pengaruh positif maupun negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak, apabila kaum muslim pada umumnya, dan secara khusus penggiat kajian hadis hanya berdiam diri (tidak peduli) atau menolak mentah-mentah tesis-tesis mereka dengan tanpa memahami terlebih dahulu pemikiran mereka.
Dalam makalah sederhana ini, mula-mula penulis mencoba sedikit mendeskripsikan teori-teori kritik Joseph Scahcht, kemudian penulis berusaha secara obyektif menyuguhkan kritik atas proyek kritik Schacht dalam perspektif penulis sendiri dan para sarjana-sarjana kontemporer, seperti Prof. Dr. Musthafâ ‘Azami, Fuat Sezgin, serta sarjana-sarjana lainnya.
Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht adalah seorang tokoh orientalis kelahiran 15 Maret 1902 M di Rottburg (Sisille), Jerman. Schacht memulai studinya dengan mendalami ilmu filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa Timur di dua Universitas berbeda, Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1923, Schacht menyabet gelar sarjana tingkat pertama di Universitas Prusla. Kemudian dia mendapat “SK” mengajar di perguruan tinggi, kemudian dia bertugas menjadi dosen di Universitas Freiburg, wilayah Barat Daya Jerman, dan pada tahun 1929 dia menyandang guru besar. Kemudian pada tahun 1923, Schacht pindah ke Universitas Kingsburg. Lalu pada tahun 1934 dia mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo, Mesir). Pada universitas tersebut ia diserahi tugas untuk mengajar fiqh, bahasa Arab, dan bahasa Suryani pada jurusan Bahasa Arab, fakultas Sastra. Dia mengajar di Universitas Mesir tersebut sampai tahun 1939.
Schacht termasuk orientalis yang cukup produktif. Meskipun dia terkenal dengan kecenderungannya dalam mengkaji dan mendalami fikih, dia juga banyak menulis karya dalam bidang-bidang yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan Abdurrahmân Badawî bahwa karya-karya Schacht terdiri dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya;
1. Kajian tentang ilmu kalam
2. Tahqîq (menyunting dan mengedit) atas manuskrip-manuskrip kitab fikih
3. Kajian tentang fikih
4. Kajian tentang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat Islam
5. Kajian-kajian keislaman lainnya
Menurut penilaian Abdurrahmân Badawî, karya Joseph Schacht yang paling menonjol adalah karyanya dalam kajian sejarah fikih Islam. Karya utama Schacht dalam kajian ini adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence setebal 350 halaman. Di samping karya tersebut, pada tahun 1960, Schacht menerbitkan buku kembali dengan judul An Introduction to Islamic Law (Pengantar Hukum Islam).
Kedua karyanya di atas bergenre fikih (hukum Islam), hanya saja dalam kedua bukunya, khususnya buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence, dia berusaha mengembangkan teori yang sempat digagas oleh pendahulunya, Ignaz Goldziher dan Margoliouth, dalam metode kritik hadis, yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum Islam (baca; Fikih). Schacht menyajikan hasil kajiannya dalam kajian hukum Islam dengan mengkritik hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum. Dia berkesimpulan bahwa hadis-hadis Nabi tentang hukum adalah palsu. Ia (hadis hukum), kata Schacht, hanyalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriah.
Proyek Kritik Schacht Terhadap Hukum Islam (Fikih)
Sejumlah sarjana Barat, tidak terkecuali Joseph Schacht, telah meragukan peran penting kontribusi al-Qur’an terhadap perkembangan hukum Islam. Bahkan Schacht secara khusus berpendapat bahwa al-Qur’an pada esensinya hanya berisikan hal-hal yang bersifat etis dan hanya sedikit yang bersifat hukum. Ia juga mengingkari adanya peran penting al-Qur’an terhadap perkembangan hukum Islam yang paling awal.
Schacht berkesimpulan bahwa hukum Islam (Muhammadan Law, istilah yang digunakannya sebagai ganti dari Islamic Law), tidak secara langsung bersumber dari al-Qur’an, akan tetapi ia adalah hasil perkembangan dari sebuah tradisi umum dan tersusun di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah.
Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht berkata bahwa khalifah-khalifah pertama (Khulafâ al-Râsyidîn) tidak menunjuk para Qâdhî (hakim). Pemerintahan Dinasti Umayyah ataupun para gubernurnya telah mengambil langkah-langkah penting dalam mengangkat para hakim Islam atau Qâdhî. Kemudian tesis ini menggiringnya pada sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar abad pertama Hijriah, hukum Islam, dalam pengertian teknis belum ada.
Pendapat yang senada dapat kita temukan dalam karyanya yang lain, Origins of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Musthafâ ‘Azamî bahwa Schacht menuturkan, “Bukti adanya hadis-hadis hukum membawa kita mundur ke sekitar tahun 100 Hijriah saja; pada saat itu pemikiran hukum Islam berawal dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari Bani Umayyah, yang masih direfleksikan dalam sejumlah Hadis.” Dia (Schacht) mempertahankan lagi, “Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islam hampir-hampir tidak ada pada masa Sya’bî, yang wafat pada tahun 110 Hijriah.”
Kritik atas Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis-hadis Hukum Islam (Fikih)
Kesimpulan Schacht di atas mengenai kelangkaan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, serta kebermulaan hukum Islam mendapat hujan kritik yang cukup deras baik dari kolega-koleganya (orientalis) maupun dari sarjana muslim. Sejumlah orientalis seperti Goitein, Coulson, dan Powers menghujamkan kritik cukup telak terhadap kesimpulan Schacht. Goitein merasa bahwa dari sekian bukti yang ada, sangatlah jelas bahwa banyak persoalan hukum yang telah dihadapkan kepada Nabi Muhammad saw., dan diputuskan olehnya. Senada dengan Goitein, Coulson dan Powers juga menodong kritik terhadap Schahct. Menurut mereka berdua, “Siapa saja yang hendak mengetahui asal mula hukum Islam harus mengawalinya dengan legislasi al-Qur’an”.
Prof. Dr. Musthafâ ‘Azamî juga telah berusaha menyudahi tesis-tesis yang ditawarkan oleh Schacht, terkait kebermulaan hukum Islam. Dengan menggunakan data-data yang cukup “akurat”, Prof. Dr. Musthafâ ‘Azamî membantah pendapat Schacht dengan memaparkan beberapa hal;
1. Aktivitas-aktivitas yudisial Nabi saw., Nabi saw. sebagai seorang utusan sekaligus penjelas atas al-Qur’an, menjelaskan tentang perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an yang masih bersifat global. Hal ini merupakan sebuah data akurat yang mematahkan tesis kebermulaan hukum Islam pasca abad I Hijriah.
2. Catatan-catatan hukum dan keputusan-keputusan yang didasarkan pada keputusan-keputusan atau contoh-contoh Nabi saw,.
3. Literatur hukum abad pertama, ada beberapa data yang dapat menguatkan alasan bahwa terdapat beberapa literatur-literatur hukum yang dicetuskan pada abad pertama Hijriah, sebagaimana keputusan-keputusan Mu’âdz (18 H) dibaca dan diriwayatkan oleh Thâwûs (23-101 H) di Yaman.
4. Disamping pembukuan keputusan-keputusan Mu’âdz, hasil ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khathâb, Ibn Mas’ûd, ‘Urwah bin Zubair, Zaid bin Tsâbit juga telah terkodifikasikan dengan baik.
Dalam salah satu tulisannya, ‘Azamî telah mencoba memaparkan bahwa semenjak era sahabat telah terdapat beberapa sahabat yang memiliki otoritas dalam menentukan sebuah hukum, hal ini ia maksudkan untuk mengkritik Schacht yang berasumsi bahwa proses pencetusan sebuah hukum baru terjadi pasca pengangkatan-pengangkatan Qâdhi (hakim) pada masa Dinasti Umayyah.
‘Azamî juga menilai terdapat ketidakobyektifan Schacht dalam mengkaji fikih. Schacht dalam perspektif ‘Azamî telah sengaja membuat pengkaburan fikih dengan mengganti nomenklatur-nomenklatur fikih dengan nomenklatur Barat. Hal ini bisa dilihat dari “pemerkosaan” istilah yang digunakan Schacht dalam karyanya yang bertajuk, Introduction of Islamic Law, di mana dia membagi fikih ke dalam beberapa judul-judul berikut; orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. Susunan demikian – masih menurut ‘Azamî- sengaja diperkenalkan Schacht, karena dia ingin mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik pembahasan dan pembagiannya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam.
Dari “pemerkosaan” istilah-istilah yang terdapat dalam fikih di atas bisa disimpulkan bahwa sejumlah orientalis, khususnya Schacht, memang meragukan otentisitas fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang orisinil. Kesimpulan penulis selaras dengan pendapat Sa’d al-Murshifî yang menyatakan bahwa Schacht menilai bahwa fikih Islam telah mengambil dan memodifikasi hukum-hukum Romawi kuno.
Di samping itu, hemat penulis, Schacht juga telah keliru dalam memahami sejarah fikih Islam, di mana sebenarnya dia mengetahui bahwa aturan-aturan legal-formal (seperti tata cara shalat, pembayaran zakat, haji, dll) sudah ada semenjak zaman Nabi saw,. Karena fikih sangat berkait kelindan dengan kehidupan beragama, sehingga aturan-aturan fikih tentang tata cara shalat, pembayaran zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya telah ada semenjak zaman Nabi Muhammad saw., yang kemudian diteruskan oleh para sahabat, lalu tabi’in dan seterusnya. Andaikan tesis Schacht benar, niscaya aturan-aturan hukum fikih dalam Islam menjadi kacau balau, karena tidak ada individu yang paling otoritatif dalam menjelaskan aturan-aturan keagamaan, selain Nabi saw.
Senada dengan kritik penulis, Power, seorang orientalis juga mengemukakan bahwa generasi Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. telah melakukan shalat, melakukan perceraian, membagikan harta kekayaan, dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hukum Islam lainnya. Dan sudah semestinya bahwa hal tersebut merupakan manifestasi dari penerapan atas hukum-hukum yang tertulis dalam al-Qur’an dengan otoritas Nabi Muhammad sebagai mufassir sekaligus mubayyin paling otoritatif.
Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis; Tinjauan Kritik Matan
Sebelum melakukan kritik terhadap hadis, Joseph Schacht memulai pembicaraannya dengan memberikan “tawaran” sebuah konsep awal terhadap hadis. Dia berkata, “ Sunnah dalam konteks Islam pada mulanya lebih memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi hukum; menunjukkan kebijaksanaan dan administrasi khalifah. Persoalan apakah tindakan administratif khalifah pertama, Abû Bakar dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang mengikat, barangkali persoalan ini muncul pada saat penunjukkan ‘Umar dan ketidakpuasan dengan kebijaksanaan khalifah ketiga, Utsmân, yang mengantarkan pada pembunuhannya pada 35 H/655 M, karena dituduh telah menyimpang dari kebijaksanaan khalifah sebelumnya, secara implisit menyimpang dari al-Qur’an. Dalam hubungan ini, muncullah konsep sunnah Nabi, yang belum diidentifikasikan dengan sejumlah aturan-aturan positif, akan tetapi memberikan serangkaian mata rantai doktrinal antara sunnah Abû Bakar dan ‘Umar serta al-Qur’an. Bukti-bukti awal yang tentunya otentik untuk penggunaan istilah sunnah Nabi adalah surat ‘Abdullah bin ‘Ibâd, pemimpin Khawarij yang ditujukan kepada Khalifah Dinasti Umayyah, ‘Abd al-Mâlik, sekitar 76 H/695 M. Istilah yang sama dengan sebuah konotasi teologis, yang disertai contoh teguran, terdapat dalam risalah yang sezaman dengan Hasan al-Bashrî yang ditujukan kepada khalifah ‘Abd al-Mâlik. Pengertian sunnah seperti ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam yang diperkirakan berlangsung pada akhir abad 1 Hijriah oleh ulama-ulama Irak.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Musthafâ ‘Azamî bahwa sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan konsep sunnah, yang secara ringkas Schacht berpendapat bahwa:
1. Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebutnya sebagai “tradisi yang hidup.”
2. Konsep sunnah nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua Hijriah.
3. Bahan penggunaan istilah “Sunnah Nabi” tidak berarti sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia hanya sekadar “tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi saw.
Dalam membidik dan mengkritik matan hadis, Schacht mengambil beberapa matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî karya Mûsâ bin ‘Uqbah al-Asadî. Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. ‘Azamî dalam bukunya yang berjudul, “Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn”, beliau memaparkan empat contoh matan hadis yang dikritik oleh Schacht, kemudian beliau menganalisa dan mengkritik atas kritik matan ala Schacht.
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî kemungkinan besar terjadi pada masa pertengahan abad kedua Hijriah. Hadis-hadis tersebut merupakan pengaruh dari Dinasti ‘Abbasiyah, di mana mereka sangat membenci keluarga ‘Alawiyin. Lebih-lebih kelembutan sikap lahiriyah terhadap pemerintahan Abû Bakar menunjukkan bahwa hadis tersebut dipalsukan pada masa – relatif – belakangan sesudah munculnya Daulah ‘Abbasiyah. Oleh karena itu sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa hadis-hadis itu ditulis oleh Mûsâ bin ‘Uqbah, sebab ia meninggal pada awal berdirinya Daulah ‘Abbasiyah.
Schacht melancarkan kritik matan terhadap sebagian hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî, karya Mûsâ bin ‘Uqbah. Schacht berkata, “Mûsâ bin ‘Uqbah (penulis kitab al-Maghazi) mengatakan bahwa dia mengambil sumber-sumber hadis dari al-Zuhrî. Ibn Ma’în juga menganggap bahwa kitab Musâ yang bersumber dari al-Zuhrî adalah kitab yang paling otentik di antara kitab-kitab hadis yang menceritakan tentang peperangan Nabi saw. Oleh karena itu, tidak mungkin dalam kitab al-Maghâzî – dalam bentuknya yang asli- itu terdapat hadis-hadis yang diterima dari jalur selain al-Zuhrî. Akan tetapi, karena di dalam kitab itu terdapat hadis-hadis dari jalur selain al-Zuhrî, yaitu hadis nomor 6, 8, 9, dan 10, maka bisa dipastikan bahwa hadis-hadis itu adalah “tambahan sejak aslinya”.”
Hadis no. 6 dikritik oleh Schacht karena menurutnya, matan hadis ini berusaha untuk mempengaruhi kepentingan dinasti ‘Abbasiyah yang sedang berkuasa. Hal itu dengan menceritakan leluhur mereka yang berperang melawan Nabi Muhammad saw. Dan kemudian ditahan oleh orang-orang Islam, serta diwajibkan membayar tebusan.
Salah satu contoh matan hadis lain yang terdapat dalam kitab al-Maghâzi yang dikritik oleh Schacht adalah hadis no.9, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin Umar yang berbunyi;
‘Abdullâh bin Umar berkata, “Rasulullah saw. tidak mengecualikan Fathimah ra. (dalam masalah hukum pidana).”
Hadis ini dinilai Schacht sebagai hadis yang mengingkari akan keistimewaan keluarga Nabi saw. dalam hukum pidana. Oleh karena itu hadis ini dinilai sebagai hadis anti keluarga ‘Ali (Alawiyyin), sebab tidak mengakui adanya keistimewaan keluarga ‘Alawiyyin dalam masalah pidana.
Kritik atas Kritik Schacht Terhadap Matan Hadis
Kritik matan yang dilancarkan Schacht (terhadap hadis no.6 dalam kitab al-Maghâzî) di atas dijawab tuntas oleh Prof. Dr. Musthafâ ‘Azamî. ‘Azamî membredel kritik Schacht atas hadis di atas dengan beberapa pertanyaan. Menurut ‘Azami, apabila hadis itu dibuat pada masa dinasti Abbasiyah untuk menentang keluarga ‘Alawiyyin, maka kenapa hal itu tidak dibikin pada abad pertama saja, di mana pada waktu itu pertentangan antara kaum ‘Alawiyyin sedang mencapai klimaksnya? Apakah al-Zuhrî tidak loyal terhadap Umawiyyin? Apakah halangannya jika hadis itu dibuat pada abad pertama Hijriah? Oleh karena itu patut kita tanyakan, apakah yang menjadi alasan pendorong kita untuk menerima bahwa hadis itu muncul pada paruh kedua abad kedua, dan tidak sebelumnya?
Kemudian hadis no.9 yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî, menurut ‘Azamî, hadis tersebut bukan berarti tidak megakui keistimewaan kaum ‘Alawiyyin, karena dalam masalah tindak hukum pidana tidak ada yang terkecualikan, termasuk Nabi saw. sendiri. Lebih lanjut ‘Azamî menyatakan sebuah hadis sahih bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda;
إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها (رواه شيخان)
“ Sesungguhnya penyebab kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah ketika orang-orang besar (kaum ningrat) mereka melakukan tindakan pencurian, mereka membiarkannya tanpa diberikan hukuman, sementara apabila pencurinya adalah orang-orang lemah (kaum proletar), maka mereka akan menghukumnya. Sungguh Apabila Fathimah binti Muhamad mencuri, maka akan aku potong tangannya!” (HR.Bukhâri, Muslim)
Menurut penulis, kesalahan paling fatal dari kritik yang dilancarkan oleh Schacht adalah ia tidak memahami metodologi asbâb al-Wurûd al-Hadîts, di samping ia juga telah gegabah dalam memahami hadis dengan pemahaman sepenggal-sepenggal. Ia mengabaikan matan-matan hadis lainnya yang berkaitan dengan hadis yang dikritiknya. Dus, kesimpulan yang ia dapatkan dalam kritik matan hadis kitab al-Maghâzî pun tidak bisa diterima.
Di samping itu, Schacht juga telah gagal memahami hadis tersebut, karena hadis tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah hukum pidana, akan tetapi hadis tersebut merupakan bagian dari kelanjutan hadis sebelumnya yang menjelaskan tentang kecintaan Nabi saw. terhadap Usâmah bin Zaid. Kemudian sabda Rasulullah saw. dalam hadis no.9 ini menegaskan bahwa Fathimah pun termasuk orang yang paling dicintai Rasul.
Projecting Back dan Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis ; Tinjauan Sanad
Keseriusan Schacht dalam kritik hadis tidak hanya terpaku pada matan hadis saja, dia juga menyibukkan dirinya untuk mempelajari dan membuat teori baru dalam kajian kritik sanad hadis. Jerih payahnya dalam mengkaji sanad hadis membuahkan hasil dengan penemuannya atas teori hadis yang dikenal dengan teori “Projecting Back”.
Teori Projecting Back adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan Schacht atas premis-premis yang dia buat mengenai kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut adalah, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). premis ini menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis tersebut adalah buatan orang-orang pasca al-Sya’bî.
Dia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan Qâdhi (hakim agama). Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriah (±715-720 M) pengangkatan Qâdhi ditujukan kepada orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah mereka semakin bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok ahli fikih klasik.
Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada Qâdhi ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrâhîm al-Nakha’î (W.95 H).
Perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para Qâdhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh yang lebih dahulu lagi, misalnya Masrûq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya ‘Abdullah bin Mas’ûd. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis dengan memproyeksikan pendapat-pendapat orang-orang belakangan (yang kemudian dikenal dengan teori Projecting Back)
Pada gilirannya teorinya ini mendapat apresiasi dari orientalis-orientalis lainnya. Prof. Robson adalah salah satu orientalis yang terpikat dengan teori Schacht dan memujinya dengan berkata, “Kajian berharga yang membuka jalur penelitian baru.”
Ringkasnya, pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnâd mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua Hijriah, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumen Schacht teringkas dalam lima poin;
1. Sistem sanad dimulai pada abad kedua, atau paling “banter” akhir abad pertama Hijriah.
2. Isnâd-isnâd diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnâd-isnâd secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; Isnâd-isnâd yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syâfi’î untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. Isnâd-isnâd keluarga adalah palsu, demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnâd-isnâd itu.
5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Konsep Schacht telah diadopsi oleh beberapa orientalis ternama lainnya, John van Ess adalah salah satu dari sederet orientalis yang sudi “bertepuk tangan” dan “menjiplak” teori atau konsep yang ditawarkan Schacht. Sebagaimana Schacht, van Ess pun mengakui bahwa isnâd “tumbuh ke belakang” dan dia menerima teori common link.
Sebagaimana sebagian orientalis lain yang “terhipnotis” oleh teori Schacht, sebagian sarjana muslim juga meniru dan mengembangkan teori yang digagas oleh Schacht. Sebut saja A.A.Fyzee, seorang hakim muslim dalam jajaran Mahkamah Agung Negara bagian Bombay India, dalam bukunya A Modern Approach to Islam, dia menerima tanpa syarat tesis-tesis Schacht. Demikian pula Fazlur Rahman, direktur Islamic Centre di Karachi yang kemudian pindah ke Chicago, dalam bukunya yang berjudul Islam. Dia mengkritik dasar-dasar pandangan Schacht mengenai terbentuknya aliran-aliran hukum Islam. Tetapi dia menerima tesis pokok dari Schacht mengenai diedarkannya hadis dan mengenai teori Projecting Back-nya Schacht.
Kritik atas Projecting Back dan Kritik Sanad Schacht
Pada masa Rasulullah saw. hidup, kebutuhan akan kritik sanad hadis terbilang sangat minim, hal ini amatlah wajar, karena kejujuran para sahabat dalam menerima riwayat dari Nabi saw. tidaklah diragukan lagi. Begitu pula pada saat Abû Bakar memegang tampuk tahta khalifah, kritik hadis juga masih belum menyeruak.
Kendatipun aktivitas kritik hadis masih terbilang minim pada saat Abû Bakar menjadi khalifah, bukan berarti kritik hadis tidak pernah terjadi. Karena Abû Bakar pernah mempertanyakan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Mughîrah bin Syu’bah tentang hak dan bagian waris seorang kakek, dimana Abû Bakar pernah berkata, “Aku tidak menemukan teks al-Qur’an tentang hal itu (hak waris seorang kakek).” Kemudian Mughîrah berdiri, lalu berkata, “Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw. Memberikan bagian seperenam baginya (seorang kakek).” Lalu Abû Bakar berkata, “Apakah kamu memiliki saksi atas hal itu?” Kemudian Muhammad bin Maslamah bersedia menjadi saksi atas perkataan Mughîrah, lalu Abû Bakar pun menerima riwayat tersebut.
Semua pernyataan Schacht di atas telah dibantah oleh beberapa sarjana muslim seperti Profesor Muhamad Abû Zahrah, Profesor Musthafâ ‘Azamî, Profesor Zhafar Ishâq Anshârî. Di kalangan orientalis sendiri, teori-teori Schacht bukan hanya mendapat reaksi positif, karena sebagian yang lain, ada yang tidak sepakat atau bahkan mengkritik teori-teori yang ditawarkan Schacht. Sebut saja Noel Coulson, Michael Cook, Harald Moztki, dan Rubin.
Teori “Projecting Back” Schacht, menurut ‘Azamî, tidaklah logis. Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa terdapat sejumlah riwayat yang sama dalam bentuk dan makna dalam literatur para muhadditsîn klasik dari sekte-sekte berbeda. Seandainya hadis hukum dipalsukan pada abad kedua dan ketiga hijria, tidak akan ada hadis yang dimuat bersama dalam sumber sekte-sekte yang berbeda ini. Lebih jauh lagi, ‘Azamî bertanya mengapa para ulama mau memilih dan mencantumkan orang-orang lemah untuk isnâd mereka, sementara mereka sebenarnya juga bisa dengan mudah memilih figur-figur yang lebih terhormat? Menurut ‘Azamî hal ini tidaklah logis. Yang lebih kuat lagi adalah argumen ‘Azamî bahwa dalam banyak kasus sebuah hadis diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dari daerah yang berbeda-beda. Hampir mustahil mereka bertemu dan bersepakat melakukan pemalsuan ini.
Penting untuk diungkapkan di sini bahwa sebenarnya “kritik atau apologi” yang dilancarkan oleh ‘Azami dalam menyudahi tesis-tesis Schacht belum tuntas secara paripurna. Hal ini ditengarai oleh beberapa sarjana seperti Harald Moztki, Juynboll, Kamarudin Amin, hingga Ali Masrur bahwa ‘Azami tidak memahami dengan baik teori yang digunakan oleh Schacht dalam kritik sanad, khususnya terkait teori Projecting Back. Di lain sisi, data-data yang digunakan oleh ‘Azami dalam membantah kebermulaan hukum Islam dimulai pada abad kedua dan ketiga Hijriah adalah data-data abad kedua Hijriah.
Hemat penulis hal tersebut dipicu dari adanya kesenjangan argumentasi antara Schacht dan ‘Azami. Schacht tidak meyakini hukum Islam eksis pada abad pertama Hijriah, karena ia tidak menemukan data-data tertulis tentang hukum Islam yang dikodifikasikan pada masa itu. Sementara ‘Azami dalam membuktikan keberadaan hukum Islam telah eksis pada abad pertama Hijriah adalah dengan menunjukkan sabda-sabda Nabi saw. kepada para sahabat terkait masalah hukum dengan data-data yang terdapat pada abad kedua atau ketiga Hijriah. Di samping itu, ‘Azami, sebagaimana yang diyakini para Muhaditsîn, menilai bahwa riwayat oral (lisan dengan metode hafalan) lebih kuat dibanding dengan riwayat tulisan. Sementara Schacht karena ia tidak mempercayai tradisi kritik para informan hadis (Jarh Wa Ta’dîl), sehingga ia tidak mempercayai riwayat yang tidak tertulis.
Dari sudut pandang yang berbeda inilah, akhirnya para orientalis pasca Shacht, seperti Juynboll dkk, merasa bahwa ‘Azami belum mematahkan secara sempurna terhadap seluruh bangunan teori kritik sanad hadis dan kritik kebermulaan fikih ala Joseph Schacht. Hal ini pada gilirannya memicu para orientalis pasca Schacht untuk meneruskan teori-teori yang pernah digagas Schacht.
Dengan segala keterbatasan penulis, penulis mencoba mengkritik teori kritik Joseph Schacht. Hemat penulis, Schacht telah keliru dalam memahami sejarah kodifikasi hadis. Sebagaimana Goldziher, Schacht juga tidak memahami fase perkembangan penulisan hadis. Hal ini sebagaimana hasil penelusuran jejak genealogis-arkeologis hadis yang dilakukan oleh Fuat Sezgin. Menurut Sezgin, penulisan hadis (Kitâbah al-Hadîts), bukan kodifikasi (Tadwîn al-Hadîts) sebagaimana yang dipahami oleh Schacht, telah dimulai pada abad pertama Hijriah, bahkan pada masa Rasulullah saw. masih hidup, dalam bentuk catatan-catatan kecil. Kemudian pada seperempat akhir abad pertama Hijriah sampai seperempat awal abad kedua Hijriah, hadis dikodifikasikan (Tadwîn al-Hadîts) atas prakarsa Ibn Syihâb al-Zuhrî. Fase ketiga, Tasnîf al-Hadîts, yaitu membukukan hadis-hadis dengan metode merunutkan nama-nama Sahabat, yang kemudian dinamakan dengan kitab al-Musnad. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, pada abad ketiga Hijriah, hadis dikodifikasikan dengan penulisan secara metodologis, yang kemudian dikenal dengan kitab-kitab Shahîh.
Fuat Sezgin secara apik telah memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam penelitiannya mengenai tradisi penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Baginya, tradisi penulisan hadis telah terjadi pada permulaan abad pertama Hijriah. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan Shahîfah-shahîfah (lembaran-lembaran) hadis yang ditulis oleh para sahabat. Di antara para sahabat Nabi yang telah menulis shahîfah-shahîfah adalah;
1. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash (65/784M), penulis shahîfah hadis yang beliau namakan “al-Shadiqah”. Hadis-hadis yang terekam dalam shahifâh ini beserta sanadnya bisa dilihat dalam kitab Musnad karya Ahmad bin Hanbal.
2. Samurah bin Jundab (W.60 H/679 M), adalah penulis shahifâh hadis. Shahifâh tersebut beliau tujukan untuk anaknya, hal ini bisa dilihat dari statemen Ibn Sîrîn bahwa kitab Risâlah Shahîfah Samurah bin Jundab yang diproyeksikan untuk anaknya memuat ilmu yang sangat luas. Ignaz Goldziher juga sempat mengkomparatifkan isi hadis yang terdapat dalam shahifâh ini. Hadis- hadis dalam shahifâh ini secara keseluruhan atau secara garis besar terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.
3. Jâbir bin ‘Abdullah (W.78 H/697M), ia adalah salah satu dari sejumlah sahabat yang memiliki naskah hadis dengan menuliskan hadis-hadis Nabi saw. yang ia dapatkan baik melalui nabi langsung ataupun dari sahabat Nabi saw.
Seorang tokoh orientalis, Juynboll, juga menyatakan bahwa tradisi kitâbah al-Hadîts, telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. masih hidup. Ia mengatakan bahwa mula-mula hadis diriwayatkan secara lisan. Sementara sebagian sahabat ada yang biasa menuliskan beberapa hadis, untuk menjaga hadis tersebut tetap berada dalam Shaha’if (bentuk plural dari shahifah), sebagian besar sahabat menghapalkan hadis. Hanya saja ia, Juynboll, mengklaim bahwa para ahli sejarah muslim telah sepakat mengenai kenyataan shahaif yang jumlahnya tidak banyak itu harus dianggap sebagai pengecualian. Kesimpulan Juynboll di atas berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Fuat Sezgin, bagi sezgin, shahaif sangat banyak jumlahnya, tidak sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang, termasuk Juynboll.
Secara ciamik, Ugi Suharto, dalam sebuah tulisannya dalam jurnal Islamia mengilustrasikan sebuah periwayatan hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Âbû Dâwud. Uniknya hadis yang ia teliti memiliki rangkaian sanad yang para rawinya memiliki sebuah kitab berisikan riwayat-riwayat hadis. Secara lengkap, matan dan sanad hadis tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ ».

Rangakain jalur sanad riwayat di atas adalah Abû Dâwud melalui Ahmad bin Hanbal, ‘Abd Razzâq, Ma’mar, Hammâm bin Munabbih, dan Abû Hurairah. Penulis mencoba menyingkat dan menyederhanakan penelitian dari Ugi Suharto terkait hadis di atas.
1. Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M), sudah bukan menjadi rahasia para pengkaji dan pemerhati hadis bahwa Ahmad bin Hanbal adalah guru dari Abû Dâwud (275 H/ 888 M). Redaksi periwayatan Abû Dâwud adalah Haddatsanâ yang bisa dipastikan ia mendengar dari Ahmad bin Hanbal dan sekaligus menyimak langsung kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Dan hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kesamaan redaksi hadis dalam pembahasan Abû Hurairah yang termuat dalam Musnad Ahmad.
2. ‘Abd Razzâq (211 H/ 826 M) juga telah diketahui oleh umum bahwa ia adalah salah satu guru dari Ahmad bin Hanbal. Dan ‘Abd Razzâq juga memiliki kumpulan tulisan hadis yang dinamakan al-Mushannaf. Uniknya lagi, redaksi periwayatannya juga menggunakan redaksi Haddatsanâ. Dan dalam Mushannafnya itu, hadis di atas juga ada dalam jilid 10, halaman 388, nomor hadis 19445.
3. Ma’mar (153 H/ 770 M) juga telah disebutkan oleh para Muhadditsîn bahwa ia adalah salah satu guru dari ‘Abd Razzâq. Salah satu karya tulisnya adalah Kitâb al-Jâmi’. Walaupun kitab tersebut sudah tidak ada lagi dalam bentuknya yang utuh, akan tetapi hadis-hadis yang terdapat di dalamnya sudah tersimpan dengan baik dalam kitab-kitab hadis lainnya. Salah satunya adalah dalam Mushannaf karya ‘Abd Razzaq, di mana dalam Mushannaf ‘Abd Razzâq, terdapat satu bab khusus yang berjudul kitab al-Jâmi’ yang secara umum periwayatan hadis dalam bab tersebut berasal dari Ma’mar.
4. Hammâm bin Munabbih (131 H/ 748 M), pakar ilmu Rijâl al-Hadîts – termasuk Imam al-Bukhari - mengatakan bahwa Ma’mar adalah murid dari Hammâm bin Munabbih. Hammâm terkenal di kalangan Muhaddîtsin memiliki koleksi hadis yang diberi nama Shahîfah. Hadis-hadis yang ditulis oleh Hammam yang terdapat dalam Shahîfah tersebut digunakan oleh Ma’mar untuk menyusun Kitâb al-Jâmi’.
5. Abû Hurairah (59 H/ 678 M), seorang sahabat Rasulullah saw. Yang paling banyak meriwayatkan hadis. Beliau adalah guru dari Hammâm, yang ternyata shahîfah yang dimiliki oleh Hammâm adalah salah satu dari beberapa Shahîfah milik Abu Hurairah.

Argumentum e Silentio Schacht
Di samping teori Projecting Back, Schacht juga menggagas teori Argumentum e Silentio, teori ini dikerangkakan dan diproyeksikan untuk membuktikan ketidakeksisan sebuah riwayat dalam literatur hadis: Apabila sebuah hadis tidak ditemukan dalam sebuah koleksi hadis, di mana eksistensinya pasti diharapkan, maka hadis tersebut tidak eksis pada saat koleksi hadis tersebut dibuat. Kemudian Schacht memformulasikan hal tersebut sebagai berikut;
“Cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadis tidak eksis pada suatu masa adalah dengan memperlihatkan bahwa hadis tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam suatu pembahasan yang merujuk kepada hadis itu menjadi sebuah keharusan, jika hadis itu telah ada.”
Teori Argumentum e Silentio Schacht juga tidak hanya mendapat pujian dan dukungan dari para sarjana, akan tetapi teori ini jua mendapat todongan kritik dari berbagai pihak, bahkan rekan-rekan orientalis sendiri juga banyak yang tidak sepakat dengan teori ini. Di antara kritikus teori ini adalah Harald Motzki, Guru Besar Hadis Universitas Nijmegen Belanda.
Syamsuddin Arif menyatakan, “Satu kesalahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik sebuah kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argumen ini biasanya diungkapkan secara impersonal (dengan kalimat: “The sources are silent regarding….” Atau “Nothing is known about….” Dan sebagainya). Bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang mendukung hipotesa anda belum tentu dan tidak mesti berarti bukti itu tidak ada. Sebab tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada anda. “The absence of evidence is not evidence of absence.” Ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti itu ada, tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya.”


Musthafâ al-Sibâ’î Versus Joseph Schacht
Sebagai penutup dari makalah singkat ini, penulis menyuguhkan hasil diskusi yang dilakukan oleh Musthafâ al-Sibâ’î dengan Joseph Schacht tentang pemikiran Ignaz Goldziher terkait kritiknya terhadap hadis.
Musthafâ al-Siba’î adalah salah satu dari sederet sarjana muslim kontemporer yang memiliki perhatian cukup besar terhadap kajian hadis. Karya al-Siba’î yang mengkaji tentang kedudukan hadis dalam sumber hukum Islam bertajuk al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî’ al-Islâmî.
Setelah Musthafâ al-Sibâ’î menulis buku tersebut (buku yang di dalamnya juga membahas tentang kritik atas kritik hadis orientalis), dia mengelilingi beberapa universitas-universitas di Eropa dan menemui serta berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh orientalis.
Di Universitas London, Inggris, dia sempat bertemu dengan orientalis berkebangsaan Inggris, Prof. Anderson, kepala bagian perundang-undangan ilmu Humaniora yang bekerja di kajian timur di Universitas London, Inggris. Anderson adalah sarjana orientalis jebolan Universitas Cambridge, Australia, di jurusan Teologi.
Dalam lawatannya ke beberapa universitas-universitas di Eropa, al-Sibâ’î juga sempat singgah di Universitas Leiden, Belanda. Di Leiden, al-Sibâ’î bertemu dan berdiskusi bersama Joseph Schact. Hasil diskusinya dengan Schacht, diabadikan oleh al-Sibâ’î dengan menulisnya di bukunya yang berjudul, al-Istisyrâq Wa al-Mustasyriqûn; Mâ Lahum Wa Mâ ‘Alaihim , berikut ini adalah petikan diskusinya;
Di Universitas Leiden, Belanda, aku berjumpa dengan seorang orientalis keturunan Yahudi berkebangsaan Jerman, yakni Joseph Schact, dia adalah seorang tokoh orientalis yang membawa serta “memodifikasi” ide-ide dan tulisan karya Ignaz Goldziher dalam pemlintirannya terhadap Islam. Aku sempat membahas panjang lebar dengan Schacht tentang kesalahan dan kekeliruan Goldziher, serta kesengajaan Goldziher dalam “memperkosa” teks-teks yang dia rujuk dari karya-karya sarjana Islam. Pada mulanya, Schacht mengingkari hal tersebut, kemudian aku menjelaskan sebuah contoh yang ditulis oleh Goldziher tentang sejarah hadis. Lalu dia merasakan keanehan dan kejanggalan atas kritik yang aku lancarkan terhadap Goldziher, kemudian dia (Schacht) merujuk buku Goldziher. Lalu dia berkata, “Kamu benar bahwa Goldziher telah keliru dalam masalah tersebut (sejarah hadis).” Kemudian aku berkata kepadanya, “Apakah hanya sebuah kekeliruan (tidak ada motif lain)?” Schacht menjawab, “Kamu telah berburuk sangka kepada Goldziher?” Lalu aku menyodorkan pembahasan tentang analisa Goldziher terkait posisi al-Zuhrî terhadap Abd al-Mâlik bin Marwân, kemudian aku paparkan fakta-fakta sejarah yang menyudahi tesis-tesis Goldziher. Setelah berdebat dalam masalah tersebut, dia (Schact) berkata, “Ya, itu juga kekeliruan Goldziher, tapi, bukankah para sarjana klasik juga pernah keliru dalam tesis-tesisnya?” “Bukan itu masalahnya”, tandas al-Siba’i. “Goldziher adalah pendiri sekolah orientalis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ilmiah dan fakta sejarah. Kemudian, kenapa prinsip-prinsip itu dia abaikan? Dia menuduh al-Zuhrî sebagai pemalsu hadis demi kepentingan Abd al-Mâlik bin Marwân yang berposisi dengan Ibnu al-Zubair. Padahal, al-Zuhrî tidak pernah bertemu sama sekali dengan Abd al-Mâlik kecuali setelah tujuh tahun dari wafatnya Ibnu al-Zubair. Apakah hal itu disebut prinsip-prinsip ilmiah?” lanjut al-Siba’i. Ketika mendengar hal tersebut, wajah Schacht menjadi pucat, karena dia menyadari bahwa Goldziher tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam kajian hadis.
Khatimah
Dari beberapa uraian di atas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa penulis simpulkan. Pertama, kritik yang dilancarkan oleh orientalis-orientalis, khususnya Joseph Schacht adalah bukan hal baru, karena ia – sebagaimana pengakuannya- hanyalah penyambung ide dari gagasan-gagasan Ignaz Goldziher dan Margoliouth. Kedua, disadari atau tidak bahwa tradisi periwayatan hadis pada masa Rasulullah saw. telah diriwayatkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Hal ini setidaknya menepis asumsi-asumsi orientalis yang mengatakan bahwa tradisi periwayatan hadis pada abad pertama Hijriah hanya melalui transmisi oral yang riskan akan terjadinya pemalsuan dan penyimpangan dalam periwayatan. Ketiga, Kritik atau apologi sarjana-sarjana Muslim atas kritik hadis Joseph Schacht belum paripurna, karena sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa metodologi yang digunakan orientalis dalam mengkritik hadis berbeda dengan metodologi para sarjana Muslim dalam membela keotentisitasan dan kebermulaan hadis. Hal ini mestinya menjadi sebuah “perangsang” bagi para pengkaji hadis untuk melanjutkan proyek kritik yang telah dilakukan oleh para sarjana Muslim seperti al-‘Azami, Sezgin, dan lainnya.
Sekelumit dari makalah ini hanyalah sebuah ikhtiar untuk memahami proyek kritik Joseph Schacht sekaligus mencoba melakukan kritik menurut perspektif penulis dan mengeksplor kritik-kritik yang dilakukan oleh para sarjana muslim ataupun sejumlah orientalis yang tidak sepakat dengan proyek kritik Joseph Schacht. Penulis pun mengakui bahwa kajian yang disajikan dalam makalah singkat ini belum mampu secara tuntas membahas proyek kritik Schacht berikut kritik terhadapnya. Oleh karenanya, kami mengharap saran dan kritik konstruktif terhadap para pembaca, khususnya kepada dosen pembimbing agar menjadi koreksi bagi penulis ke depan.
Penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. K.H. Ali Musthafa Yaqub yang telah memperkenankan penulis untuk menimba hadis. Penulis juga mengucapkan terima kasih juga kepada Ustadz Arrazi Hasyim yang telah membimbing kami dalam mata kuliah “kritik hadis kontemporer” dan telah memberikan koreksi terhadap makalah mungil ini. Terima kasih juga tak lupa kami ucapkan kepada rekan-rekan angkatan penulis, semester 4 Pondok Pesantren Darussunah yang telah menyimak sekaligus ‘membantai’ isi dari makalah ini. Tak ketinggalan juga, penulis haturkan ribuan terima kasih kepada guru-guru intelektual penulis (Kiai Irwan, Ajengan Faiq, Romo Mawhib, Gus Fahmi, Kang Shofin, teman-teman Elkaf, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu) yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif kepada penulis, meskipun hanya melalui diskusi-diskusi kecil di dunia maya.
Terakhir, Jika ada kebenaran yang terdapat dalam oret-oretan ini, hanyalah bagian dari petunjuk dan rahmat dari Allah. Sebaliknya, jika ditemukan kesalahan-kesalahan, maka itu tak lain hanyalah kebodohan dan keterbatasan penulis.
Wallahu A’lam bi al-Shawâb
Daftar Rujukan
Al-’Asqâlânî, Ibnu Hajar, Tahdzîb al-Tahdzîb (Beirut : Mu’assasah al-Risâlah, tt)
Al-Bukhârî, Muhammad bin Isma’îl, Shahîh al-Bukhârî (Beirut : Dâr Ibn Katsîr,1987) cet. 3
Al-Murshifî, Sa’d, al-Mustasyriqûn Wa al-Sunnah (Beirut : Mu’assasah al-Rayyan, tt)
Al-Naisabûrî, Muslim bin al-Hajjaj, Shahih al-Muslim (Beirut : Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt)
Al-Sibâ’î, Musthafâ, al-Istisyrâq Wa al-Mustasyriqûn; Mâ Lahum Wa Mâ ‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998)
al-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al- Asy’ats Sunan Abû Dâwud (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tt)
Al-‘Umri, Muhammad Qâsim, Dirâsah fi al-Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn (Jordan- Dâr al Nafâis,tt)
Amin, Kamaruddin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta; Hikmah, 2009) cet;1
‘Azamî, Musthafâ, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Riyad : King Saud University) diterjemahkan oleh; Asrofi Shodri, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2004) cet ; 1
----------------, The History of The Qur’anic Text : From Revelation to Compilation, pent : Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta : GIP, 2005) Cet; 1.
----------------, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn (Riyadh; Maktabah al-‘Immariyyah, 1982) cet.3
----------------, Studies In Early Hadith Literature, pent: Prof. Dr. K.H. Ali Musthafâ Yaqub, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000) cet. 2
----------------, dkk, Manâhij al-Mustasyriqîn fi al-Dirâsah al-Islamîyyah (Tunis: Maktabah al-Tarbiyyah al-Arâbî, 1985)
Badawî, Abdurrahman , Mausû’ah al-Mustasyriqîn, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi al-Malayîn, 1993) cet ;3
Bin Nabî, Malîk, Intâj al-Mustasyriqîn, (Beirut : Dâr al-Irsyâd, tt)
Dutton, Yasin, The Origins of Islamic Law; the Qur’an, the Muwaththa, and Madinan ‘Amal, pent : M.Maufur (Jogjakarta; Islamika, 2003) cet.1
Juynboll, G.H.A The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egpyt, Pent: Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999)
Mun’im, Abdul Fu’âd, Min al-Iftira’ât al-Mustasyriqîn ‘Alâ Ushûl al-Aqîdah Fi al-Islâm (Riyâd : Maktabah al-‘Abîkan,1422H)
Rahman, Fazlur Islam, pent:Ahsin Mohammad (Bandung : Pustaka, 1984) cet 1
Schacht, Joseph, Introduction to Islamic Law, pent: Joko Supomo (Jogjakarta; Islamika, 2003) cet;1
------------------, Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford), 1979 file Pdf. Didownload dari www.4shared.com
Sezgin, Fuat, Tarîkh Turâts al-‘Arabî, diarabkan oleh Dr. Mahmûd Fahmî Hijâzî (Riyâdh : Jâmi’ah al-Imâm Muhammad bin Su’ûd, tt)
Ya’qub, Ali Musthafâ, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4
Zaqzûq, Muhamad Hamdî, al-Istisyrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharrâ’ al-Hadhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet; 1

Artikel dan Jurnal
Abd al-Khathîb, ‘Abdullah al-Radd ‘Alâ Mazâ’imi al-Mustasyriqain; Ignaz Goldziher Wa Joseph Schacht Wa Man Ayyadahumâ Min al-Mustaghribîn
Arif, Samsuddin, Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam dalam jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005
Murâd, Yahyâ, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, file pdf didownload dari http.www.kotobarabia.com
Suharto, Ugi Peranan Tulisan dalam Periwayatan Hadis (Jurnal Islamia, Tahun I, No. 2) 2004