Kamis, 02 Desember 2010

Tafsir Maqashidi : Sebuah Tawaran Penafsiran

“Al-Qur’an adalah sumber hukum yang bersifat universal. Ia juga memuat pokok ajaran agama, Serta didalamnya terkandung berbagai macam hikmah-hikmah.”al-Syathibi

“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi

“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh Waliyullah al-Dahlawi

Prolog

Al-Qur’an adalah miracle (mukjizat) yang diturunkan oleh Allah kepada nabi pamungkas Muhammad saw. Disamping itu al-qur’an juga merupakan verbum dei (kalamuLlah) yang telah menyedot perhatian sarjana-sarjana klasik maupun kontemporer untuk mengkajinya.[1] kajian-kajian tentang al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana-sarjana muslim. Para orientalis-orientalis Barat juga banyak yang terpikat untuk mengkaji kitab umat muslim itu.

Nabi Muhammad adalah mubayyin sekaligus mufassir otoritatif atas teks-teks suci al-qur’an. Namun, tidak semua ayat-ayat al-qur’an telah ditafsirkan dan dijelaskan oleh beliau. Salah satu hikmah dari sedikitnya nabi Muhammad menafsirkan al-qur’an adalah ruang gerak para mufasir menjadi begitu luas. Sehingga amatlah wajar bila dalam perkembangan selanjutnya penafsiran-penafsiran al-qur’an sangat variatif.

Seiring dengan melesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, serta bertubi-tubinya problematika yang harus dihadapi oleh umat manusia membawa dampak yang cukup massif atas perkembangan pendekatan-pendekatan penafsiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, globalnya bahasa yang terdapat dalam al-quran, serta berakhirnya wahyu pasca wafatnya nabi Muhammad, membutuhkan penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai perkembangan zaman. Kedua, Alquran sebagai kitab suci yang bersifat selalu relevan di setiap ruang dan zaman (up to date /Shalih Li Kulli Zaman Wa al- Makan) harus selalu memberi solusi terhadap problematika umat. Sehingga perkembangan tafsir adalah suatu keniscayaan.

Kajian-kajian seputar al-Qur’an selalu diminati oleh umat manusia. Tak terkecuali kajian tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari metode penafsiran klasik seperti tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi hingga tafsir ala hermeneutika yang digulirkan oleh beberapa kalangan kiri islam, selalu ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan diperdebatkan.

Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar tafsir maqashid, sembari sedikit menengok sejarah maqashid syari’ah sebagai cikal bakal terinspirasinya gagasan tafsir maqashidi.

Sekilas tentang sejarah kemunculan Maqashid Syari’ah

Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshad yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.[2]

Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H) [3] adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.[4]

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5]

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.

Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali. Di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:

1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer),
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)

Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi lima kategori:

1.Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain.

2.Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.

3.Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.

4.Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.

5.Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.[6]

Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi, bukan hanya al-Ghazali , karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.[7]

Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.

Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya. Maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah.

Hemat penulis, pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah. Namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur -seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh-, menyatakan “kajian maqashid syari’ah yang ia tempuh mengikuti metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.

Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan mengupas tokoh-tokoh klasik yang intens mengkaji maqashid syari’ah. Penulis mencoba mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain.[8]

Definisi Tafsir Maqashidi

Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.

Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.

Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. [9]

Awal Kemunculan Tafsir Maqashidi

Diskusi tentang kajian al-Qur’an dilakukan pada pertengahan April 2007 yang lalu. Simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda, Maroko. Kegiatan ilmiah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqashid syari’ah).[10]

Sebenarnya topik seputar tafsir maqashidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) yang mengangkat tema tentang ‘tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi’, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabit al- Tafsir al Maqasidi li al- Qur’an al- Karim (ketentuan tafsir maqashidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda, Maroko, dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April 2007 tersebut.[11]

Kajian tafsir maqashidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqashidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.[12]

Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penafsiran

Memahami tentang maqashid syari’ah bagi seorang mufassir dinilai sangat urgen. Karena maqashid syariah merupakan salah satu piranti penafsiran yang tidak boleh diabaikan bagi mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh al-Fasi dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari’ah Wa Makarimuha , sebagaimana disitir oleh DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, “ Ketika seorang mufassir hendak menafsirkan ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan penjelasannya baik dari ayat al-Qur’an sendiri, hadis nabi atau pendapat sahabat, maka mufassir tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan, “ Namun penafsiran mufassir dalam keadaan di atas (tidak adanya penjelasan dari al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat) harus mempertimbangkan maqashid syari’ah, bahkan ia harus berpijak darinya”.[13]

Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Poin inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam.[14]

Pada saat yang sama, tafsir maqashidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klasik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al-Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.[15]

Aplikasi Maqashid Syari’ah dalam penafsiran

Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua, buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna, Tunisia, Tahir Ibn Asyur, dan ketiga, pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga merupakan seorang pimpinan revolusi Islam di Iran.[16]

Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqashid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqashid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al-qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan termasuk al-qadzf (pencemaran nama baik). Dalam menyikapi kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqashid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf.


Begitu juga dengan buku tafsir at- Tahrir wa at Tanwir, karya Ibn Asyur, dalam hal ini, penulis kontemporer al-Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at- tahlil al- maqashidi (penguraian ayat ditinjau dari sisi Maqasid syari’ah).

Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at- Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khomaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; al- Riwa’I (riwayat), al-Irfani (hikmah), dan at- Tadabbur al-Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Iran.[17]

Epilog

Dari secuil pemaparan tentang tafsir maqashidi di atas, setidaknya bisa ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, beragamnya problem kekinian menuntut kita untuk memberikan jawaban atas isu-isu yang berkembang. Kedua, Kita sebagai kaum terdidik dan terpelajar tidak boleh untuk bersikap apriori dalam masalah ini. Karena itu inovasi-inovasi metode penafsiran yang berkembang dalam ranah tafsir harus kita apresiasi.Ketiga, tafsir maqashidi juga memiliki pijakan referensial yang kokoh. Karena secara genealogis maqashid syari’ah merupakan salah satu kajian ushul fikih klasik. Berbeda dengan hermeneutika yang asal-usulnya merupakan bagian dari kajian penafsiran bibel yang pada satu titik terdapat kerancuan-kerancuan. Sehingga hermeneutika, menurut sebagian kalangan, tidak boleh diterapkan sebagai metodologi penafsiran al-Qur’an. Premis-premis di atas merupakan sebuah alasan yang tak terelakkan untuk diterimanya tafsir maqashidi oleh semua kalangan.

Alhasil, tafsir maqashidi diharapkan mampu memberikan sebuah tawaran untuk menjadi sebuah tafsir alternative dalam memberi solusi-solusi atas problematika kontemporer yang kian tak terbendung.

Wallahu A`lam bi al-Shawab

End Note

* Adalah Mahasiswa semester 3 fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta

[1] kaum sunni beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, berbeda dengan keyakinan muktazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

[2] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Ta’rifat Wa Muqaddimah, Di akses dari www.raisuni.org

[3] Para sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya beliau

[4] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Al-Kitabah Fi al-Maqashid, diakses dari www.raisuni.org

[5] DR.Ahmad raisuni, al-Bahs Fi Maqashid al-Syari’ah:Nasy’atuhu wa Tathawurruhu wa Mustaqbaluhu, diakses dari www.raisuni.org

[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa

[7] DR.Ahmad raysuni, ibid

[8] Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashid Syariah al-Islamiyyah, Mesir: Dar al-Salam, cet II 2007 h.139
Arwani Saerozi, MA dalam artikelnya yang berjudul ‘memperkenalkan tafsir maqashidi’, diakses dari http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah Wa ‘Alaqatuha Bi Adillah Al-Syar’iyyah , Riyadh: Dar Hijrah, cet I, vol I h.487


[14] Arwani Syaerozi

[15]Ibid

[16](Ahkam al Qur’an: jld. 3 hlm. 342) dalam arwani-saerozi http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

[17] Abd. Salam Zainal Abidin, Manhaj imam al Khomaini fi at Tafsir: 1998, dikutip dari, Arwani Saerozi dalam, http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html

Pluralisme Agama Menurut Thabathaba'i

"Tesis Goldziher dalam Madzahib Tafsirnya bahwa para mufassir Syi'ah Imamiyah tidak mau mengutip pendapat sahabat dan tabi'in ternyata keliru. Buktinya Thabathaba'i berkali-kali mengutip pendapat mereka. Bahkan hebatnya ia mau merefer kitab-kitab Sunni.!!" ‘Ali al-Awsiy"
I. MENGENAL THABÂTHABÂ’Î
A. Riwayat Hidup

Al-Thabâtabâ'î bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza ‘Alî Ashghar Syaikh al-Islâm al-Thabâthabâ’î al-Tabrîzî al-Qâdhî. Nama al-Thabâtabâ'î adalah sebuah nama yang dinisbatkan kepada salah satu kakeknya, yakni Ibrâhîm Thabâthabâ bin Ismâ’îl al-Dîbâj. Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya (terhadap agama, pen). Nasabnya bersambung hingga Nabi Muhammad Saw., dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Semua kakek-kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka dan terkenal di kota Tabriz.[1]
Al-Thabâtabâ'î tumbuh berkembang dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tradisi keilmuan. Sistem pendidikan yang diperolehnya sedari kecil adalah sistem pendidikan khusus yang dikenal dengan sebutan sistem pendidikan Hauzah. Ia begitu aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid-masjid.[2]
Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan al-Thabâtabâ'î dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.[3]


B. Karir Intelektual

Perjalanan panjang al-Thabâtabâ'î dalam mencari intelektualitasnya dimulai di kota kelahirannya, Tabriz. Kemudian pada tahun 1903 M, ia pindah ke kota Najf. Di kota Najf, ia sempat bermukim selama sekitar sepuluh tahun lamanya. Selama rentang waktu sepuluh tahun tersebut, ia sudah mendapatkan berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Hingga ia menggondol predikat mujtahid yang layak untuk melakukan ijtihad. Kemudian setelah bermukim di Najf, ia kembali ke tanah kelahirannya. [4]
Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali melakukan pengembaan intelektualnya ke daerah Qum dan menetap di sana. Tidak lama kemudian, namanya semakin dikenal hingga di luar Iran, lebih-lebih ketenarannya dalam bidang tafsir dan filsafat.
Ali al-Awsy mengomentari sistem pendidikan yang ditempuh oleh Tabhâtabhâ’î adalah sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ditempuh Tabhâtabhâ’î melalui tiga tahapan, yakni sebagai berikut;
Pendidikan dasar atau awal (Dirâsah al-Muqaddimâh). Pada tingkat dasar ini, ia mengenyam pelajaran-pelajaran seperti Mantiq, Nahwu, Sharf, Balaghah, Arudh, Fiqh dan Ushul Fiqh dasar.
Pendidikan menengah (Dirâsah al-Suthûh). Pada tingkat ini, ia menikmati pelajaran kajian kitab-kitab Fiqh, Ushul Fiqh, dan Filsafat.
Pendidikan luar atau pendidikan tinggi (Dirâsah al-‘Ulyâ). Sebuah tingkat pendidikan yang mengedapankan analisa dari seorang pelajar. Pada tingkat ini para pelajar disuguhi beberapa pendapat ulama dalam berbagai disiplin, kemudian menganalisa berbagai pendapat dan mentarjihnya.[5]

Mengenai kemampuan al-Thabâtabâ'î dalam bidang fiqh dan usul fiqh ini, Sayyid Husain Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.[6]

Al-Thabâthabâ'î belajar Fiqh dan Ushul Fiqh di bawah asuhan dua ulama besar, Syaikh Muhammad Husain al-Nâînî dan Syaikh Muhammad Husain al-Kimbânî. Sementara dalam disiplin ilmu Filsafat ia belajar di bawah bimbingan Sayyid Husain Al-Bâdikubî. Kemudian dalam bidang ilmu Etika ia belajar kepada Al-Haj Mirzâ ‘Alî al-Qâdhî[7]

Sebagaimana ulama-ulama hebat lainnya, karena ketenaran dan kehebatan intelektualnya, al-Thabâtabâ'î juga memiliki jumlah murid yang sangat banyak. Di antara muridnya yang paling terkenal di seantero dunia, khususnya di dunia Muslim adalah Sayyid Muhammad Murtadhâ Muthaharî.[8]

Al-Thabâtabhâ'î wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan disana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya.


C. Karya-karyanya yang lain

Dalam bidang tulis menulis, al-Thabâtabâ'î juga termasuk penulis produktif yang menghasilkan karya-karya orisinil. Di samping karya monumentalnya, Tafsir al-Mîzân, Al-Thabâtabâ'î juga memiliki karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah:
Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian dan Mmpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat Tuhan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di Dunia) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul) berbahasa Arab.
Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-Arba’ah) berbahasa Arab.
Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi`ah) berbahasa Arab.
Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.[9]


II. MENGENAL TAFSIR AL-MIZAN
Iran pada saat penulisan

Sudah menjadi sebuah ketentuan akademik bahwa mengkaji pemikiran seseorang harus mengetahui situasi dan kondisi yang mengitari penulisnya. Hal ini dimaksudkan agar menjadi salah satu piranti dalam memahami pemikiran penulis secara utuh. Karena sebuah teks tidak berada dalam ruang yang hampa.

Dalam hal ini, penulis akan mencoba menelusuri sejarah situasi dan kondisi Iran (lebih khusus daerah Tabriz dan Najf) yang menjadi tempat kelahiran sekaligus tempat ditulisnya tafsir al-Mizan karya Thabâthabâ’î.

Kota Tabriz adalah kota subur yang banyak melahirkan ulama-ulama yang membaktikan dirinya untuk agama dan Negara. Hasil karya mereka tidak hanya dalam bentuk bahasa Persi, melainkan juga dalam bentuk bahasa Arab ataupun Inggris.

Berbeda dengan Tabriz, Najf, kota yang dikunjungi oleh Thabâthabâ’î dalam pengembaraan intelektualnya, sebagaimana penjelasan dari Muhammad Mahdi al-Isfahani – yang dikutip oleh Evra Wilya dalam disertasinya- adalah kota kering. Kondisi ini sesuai dengan namanya al-Najf atau al-Najfah yang berarti daerah yang tidak bisa dialiri air atau kering. [10]

Situasi dan kondisi politik kota Najf antara tahun 1923-1933, kurun waktu ketika Thabâthabâ’î belajar di Najf, berada dalam pergolakan social dan politik sebagai imbas dari Perang Dunia Pertama. Setelah inggris menguasai Iran, maka dengan sendirinya najf, dahulu sebagai wilayah kekaisaran Utsmaniyyah, terlepas. Keadaan ini memberi bias bagi penduduk untuk melakukan pemberontakan. Masyarakat mendirikan sebuah lembaga dan organisasi dalam menghimpun kekuatan untuk melawan penjajahan Inggris.[11]


B. Proses penulisan

Tafsir al-Mîzân terdiri dari delapan ribu empat puluh satu halaman (8041). Kitab berbahasa Arab ini telah dicetak hingga tiga kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Mula-mula tujuan Thabâthabâ’î menulis kitab tafsir ini adalah untuk dijadikan mata kuliah di Universitas Qom, Iran. Kemudian mahasiswa-mahasiswanya mengusulkan agar tafsir yang masih berbentuk makalah-makalah tersebut untuk dibukukan menjadi sebuah kitab tafsir. Kemudian Thabâthabâ’î mengabulkan permintaan mahasiswa-mahasiswanya dengan menerbitkan volume pertama dari kitab tafsir ‘gemuk’ ini pada tahun 1956 M. Selanjutnya volume-volume berikutnya dirampungkan olehnya hingga mencapai dua puluh volume.


C. Sekilas tentang al-Mizan

Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa kitab ini hingga tahun 1995 telah diterbitkan selama tiga kali. Dan jumlah volume dari tafsir ini adalah dua puluh. Penulis tidak mendapatkan data-data akurat terkait perkembangan penerbitan kitab ini, baik tentang jumlah penerbitan buku hingga tahun 2010 ini, atau nama-nama penerbit yang menerbitkan buku ini.

III. KARAKTERISTIK PENAFSIRAN AL-MIZAN
A. Sumber penafsiran yang dominan

Tafsir al-Mizân sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang bertitel Dalîl al-Mizân adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.[12]

Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua; Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’tsûr.[13] Sementara kitab tafsir al-Mizân karya Thabâthabâ’î ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (baca; Bi al-Ma’tsûr). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan Thabâthabâ’î sesuai dengan bukti.”[14]

Sementara hemat penulis, sumber penafsiran kitab tafsir al-Mizân tidak hanya berdasarkan Bi al-Ma’tsur. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur’an, seperti pendekatan lingusitik, filosofis, sejarah, teologi dan sebagainya. [15]

Di samping itu, Thabâthabâ’î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir al-Manâr dan sejumlah tafsir lainnya.

Selain merujuk pada tafsir-tafsir lain, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisân al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, Thabâthabâ’î juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[16]


B. Kecenderungan perspektif penafsiran

Kecenderungan Thabâthabâ’î dalam menafsirkan al-Quran secara umum penulis kategorikan sebagai tafsir yang multi disiplin. Artinya, segala bidang keilmuan hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabâthabâ’î dalam bidang filsafat.

C. Langkah penafsiran

Langkah atau sistematika penafsiran Thabâthabâ’î dalam tafsir al-Mizân (sebagaimana terlampir dalam halaman lampiran) adalah dimulai dengan penjelasan seputar mufradât (arti kalimat), kemudian penjelasan dari segi hukum, teologi, dan diakhiri dengan kajian berbagai riwayat.

Tampak dari uraian-uaraian yang telah disampaikan bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Thabâthabâ’î yang meliputi:[17]
Dalam kitab tafsirnya, al-Thabâthabâ’î memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi`ah saja.
al-Thabâthabâ’î menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir[18] baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in menjadi pertimbangan al-Thabâthabâ’î ketika menafsirkan suatu ayat.
Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Thabâthabâ’î, sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur’an.
Menurut al-Thabâthabâ’î, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut al-Thabâthabâ’î adalah Nabi dan para imam Ahl al-Bayt.[19]
Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Thabâthabâ’î hanya sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-Thabâthabâ’î berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.


Di samping itu, Thabathabâ’î juga memiliki perhatian yang cukup dalam menjelaskan tentang kajian makkiyah dan madaniyyah sebuah ayat.[20]

IV. PLURALISME MENURUT THABÂTHABÂ’Î
A. Tafsir Thabathaba’i atas ayat tentang pluralisme

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة/62)

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Thabâthabâ’î mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-Mantsûr, karya al-Suyûthî bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbâb al-wurûd) tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisî bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang posisi ahli kitab yang hidup bersamanya, kelak di akhirat? Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya . Lalu turunlah ayat di atas.

Al-Thabâthabâ’î menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata iman (من أمن) adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni kebahagiaan yang dijanjikan oleh ayat di atas tidak diharuskan beragama Islam, orang-orang Yahudi, Nashrani. Melainkan orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan.[21]

B. Tafsir Mufassir lain atas ayat tentang pluralisme

Sementara Imam al-Qurthûbî mengutip pendapat dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas telah dinasakh dengan ayat yang berbunyi:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ [آل عمران/85]

“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.”[22]

Dilain pihak, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyafnya memberikan komentar atas ayat di atas dengan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah, akan selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh serta masuk Islam dengan tulus.[23]

C. Analisis Perbandingan

Dari ketiga pendapat para mufassir di atas setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa perbedaan pendapat antara Thabâthâba’î dengan al-Qurthûbî adalah berangkat dari permasalah Naskh. Bagi Thabâthabâ’î, Naskh dalam ayat ini tidak terjadi, karena naskh hanya berkaitan dengan masalah hukum, bukan dalam masalah ancaman dan janji sebagaimana ayat di atas. Sementara bagi al-Qurthubi, naskh bisa dilakukan dalam wilayah non hukum.

Sedangkan pendapat al-Zamakhsyari bermula dari redaksi kewajiban beriman kepada Allah dipahami bahwa secara implisit ayat itu bermakna keharusan masuk Islam.

V. Kesimpulan


Dari contoh ayat yang penulis suguhkan di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa penafsiran Thabâthabâ’î adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik bi al-Ma’tsûr maupun bi al-Ra’yi.

Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian pluralism agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti pada riwayat-riwayat. Melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga dieksplornya dalam kajian ini.

Perangkat tafsir yang digunakan oleh Thabâthabâ’î dalam menafsirkan ayat pluralism di atas, pada gilirannya akan menyimpulkan sebuah tesis bahwa keselamatan di akhirat tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, melainkan juga dimiliki oleh umat non Muslim lainnya, dengan syarat ia mengimani Allah, Hari Akhir, dan Berbuat kebaikan.


Wallahu A’lam

Daftar Pustaka


‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985)
Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M)
-------------, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995)
Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994)
Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009)
Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral)
Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985)
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)


[1] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985) cet 1. h.44

[2]Ibid

[3] Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M), hlm. 15.

[4]Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994) cet. 1 h. 703

[5]‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.46

[6] Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009), hlm. 21

[7] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î, op.cit. h. 47-48

[8] Ibid

[9]Ibid

[10] Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral) hal.98

[11] Ibid

[12] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985) cet 1. h. 7

[13] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2. h.10-69

[14] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân, op.cit h. 7

[15] Sebagaimana yang tertulis dalam setiap cover dalam dari tiap-tiap volume kitab tafsir al-Mizân. Hal ini juga dibuktikan dengan sistematika penulisan tafsir tersebut.

[16] Mengenai rujukan-rujukan Thabâthabâ’î terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.49-70

[17] `Ali al-Awsi, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M).

[18] Mutawatir, dalam ilmu al-hadis, adalah hadis-hadis yang dirwayatkan oleh lebih dari dua orang dalam setiap tingkatannya (tabaqat).

[19] al-Tabataba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M), hlm. 47.

[20] Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.114-118

[21] Sayyid Muhammad Thabâthabâ’î, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995) cet 8. Vol. 1 h 193

[22] Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 1. h. 394

[23] Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) vol.1, h.137


Pondok Pesantren Sebagai Gerbang Peradaban Keislaman Indonesia; Sebuah Ikhtiar Membangun Peradaban Keilmuan Indonesia

“Keberadaan lembaga pendidikan khas Nusantara ini (pondok pesantren, pen), sangat membantu pencerdasan kehidupan bangsa Indonesia.” Kojiro Shiojiri (Duta Besar Jepang untuk Indonesia).

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang telah berusia ratusan tahun. Sebuah lembaga pendidikan yang sampai saat ini masih bertahan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan.

Menurut Dr. KH. Said Aqil Siradj asal muasal lembaga pondok pesantren sangatlah sederhana dan simple. Seorang ulama yang telah belajar di berbagai pesantren, bahkan sampai ke Timur Tengah datang ke sebuah kampong. Kemudian mendirikan langgar/musholla/surau untuk menampung masyarakat dalam shalat berjamaah. Kealiman ulama tersebut yang terlihat melalui pengajian yang diadakannya kian hari kian terdengar dan tersebar ke berbagai daerah. Kemudian semakin hari jamaahnya pun kian bertambah, jika awalnya hanya penduduk sekitar yang dapat dihitung jari, lambat laun masyarakat dari berbagai daerah pun berbondong-bondong untuk menimba ilmu kepada ulama tersebut.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan ‘tradisional’, setidaknya pondok pesantren telah memberikan dua kontribusi penting yang tidak bisa dianggap sepele. Pertama, gerakan-gerakan proto-nasionalis yang mulai tumbuh sejak abad ke-18 M banyak berhimpun di seputar pesantren dan guru-guru Agama Islam. Hal itu dapat dilihat dari Perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Jawa Temgah (1825 M- 1830 M). Keberadaan gerakan-gerakan tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan republik Indonesia. Kedua, pondok pesantren menjadi pusat pengembangan agama Islam yang paling utama dan terlembagakan. Di samping itu, pesantren di Nusantara mengambil model yang khas dan berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah. Sehingga pesantren mampu menghadirkan suatu bentuk Islam Nusantara yang unik, namun dengan berbagai kompleksitasnya.

Dr. KH. Said Aqil Siradj juga menyatakan, “Berdirinya Republik ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu juga dengan lenyapnya komunis serta gerakan pengacau Republik Indonesia.”

Di negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini, pondok pesantren terbukti mampu bertahan di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi. Bahkan di berbagai daerah, pondok pesantren dengan berbagai macam modelnya mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Data statistik pedepontren merilis jumlah pesantren di Indonesia, jumlah pesantren di Indonesia adalah 24.206 pesantren, dengan perincian; Pondok pesantren salaf 13.477 (56 %) , pondok pesantren modern 3.165 (13%), dan pondok pesantren terpadu (kombinasi antara salaf dan modern) 7.564 (31%).

Penelitian ini adalah sebuah ikhtiar menggagas sistem pendidikan ideal bagi lembaga pondok pesantren sebagai gerbang peradaban Islam di Indonesia. Peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengambil latar pondok pesantren dan yang menjadi obyek penelitian adalah Pengasuh, pengurus, dan sejumlah mahasantri pondok pesantren Darus-Sunnah. Pengumpulan data akan didasarkan pada observasi, interview, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan. Kemudian mengolahnya sebagai premis-premis dalam memperoleh kesimpulan.